Saturday, December 8, 2018

Wisata Pemakaman PD II (2): Ereveld Menteng Pulo dan Jakarta War Cemetery

Dari Ereveld Ancol, kami berpindah ke Ereveld Menteng Pulo. Dalam perjalanan dari Ancol ke kawasan Casablanca, di bis Bang Adep memutarkan film Tuan Papa, kisah dokumenter anak-anak indo hasil perkawinan antara tentara Belanda dan orang Indonesia di masa Perang Kemerdekaan. Sebagian besar dari anak-anak indo tersebut menghabiskan masa kecilnya tanpa pernah bertemu ayah kandungnya, dan baru setelah beberapa puluh tahun kemudian sebagian dari mereka dapat bertemu dengan ayah kandungnya. Melihat film tersebut, hati ini merinding, perang ternyata tidak hanya menimbulkan kepiluan akibat kematian. Banyak drama kehidupan lain sebagai dampak dari peperangan, dan walaupun beberapa drama tersebut berakhir dengan happy ending, tapi sebagian masih menyisakan kepedihan.

Ms. Eveline dan Ibu Wulan
Tiba di Menteng Pulo, Eveline sudah menyambut kami bersama Ibu Wulan, “kuncen” dari Ereveld Menteng Pulo, dan mengawali kunjungan kami dengan kisah berdirinya Ereveld Menteng Pulo. Eereveld ini bukan yang terbesar di Indonesia, tetapi merupakan ereveld yang paling dikenal. Diresmikan pada tanggal 8 Desember 1947 oleh Jendral Spoor, sebelumnya tempat ini sudah digunakan sebagai area pemakaman. Desain pemakaman dirancang oleh Letkol Hugo Anthonius van Oerle, seorang arsitek dari sekaligus pimpinan batalion zeni Divisi 7 Desember Koninklijke Landmacht  (Angkatan Darat) Kerajaan Belanda.

Ereveld Menteng Poelo
Dikepung oleh gedung-gedung tinggi di seputaran kawasan Casablanca, Ereveld Menteng Pulo merupakan tempat peristirahatan terakhir bagi 4300 orang, baik dari kalangan militer maupun sipil, termasuk wanita dan anak-anak yang merupakan korban perang dunia kedua di Indonesia. Sebagian besar yang dimakamkan di sini adalah orang-orang Belanda, serta orang-orang Indo Belanda atau orang Indonesia yang menjadi prajurit KNIL. Ereveld Menteng Pulo juga menerima pindahan dari ereveld lain, seperti dari Banjarmasin, Tarakan, Menado, Palembang, Balikpapan, Makassar, dan Cililitan, sesuai perjanjian sentralisasi makam Belanda.

Blok Muslim
Blok paling dekat pintu masuk adalah pemakaman untuk Muslim, yang sebagian besar merupakan orang Indonesia yang menjadi prajurit KNIL. Makam di blok ini menghadap ke arah yang berbeda dengan makam-makam lain, karena diatur agar menghadap ke kiblat. Di belakangnya terdapat Blok Tjililitan, yang merupakan pindahan dari Ereveld Tjililitan (yang semula terletak di kawasan Pangkalan Udara Militer Halim Perdanakusuma) pada tahun 1968. Blok ini ditandai dengan tugu yang dihiasi baling-baling pesawat dan prasasti bertuliskan “ter nagedachtenis aan onze gevallen kameraden” yang bermakna “Untuk rekan-rekan kami yang telah jatuh”.

Tugu Baling-Baling Patah
Di sisi kanan dekat pintu masuk merupakan makam prajurit Belanda dari KNIL maupun Koninklijke Landmacht (KL – Angkatan Darat). Pada umumnya mereka beragama Kristen, namun terdapat pula mereka yang beragama Yahudi dan Buddha yang dimakamkan di tempat ini. Di blok ini terdapat makam Jendral Spoor, panglima tertinggi Tentara Belanda di Indonesia antara 1946-1949. Beliau adalah orang dengan pangkat tertinggi yang dimakamkan di Menteng Pulo. Tidak ada perbedaan antara makam Spoor dengan makam para prajurit lainnya. Seperti mengutip kata-kata Spoor sendiri, “mereka berada di sini tanpa [peduli] ras, agama, etnis, pangkat, atau jabatan”.

Makam Jendral Spoor
Di sisi kanan jauh terdapat Blok Divisi 7 Desember yang merupakan tempat peristirahatan terakhir anggota Pasukan Belanda dari Divisi Pertama 7 Desember yang dikirim pada tahun 1946 ke Indonesia untuk misi pemulihan setelah kekalahan Jepang. Blok ini ditandai dengan kode 7DD, dan terdapat sebuah tugu dengan kalimat di latar belakangnya “Onze eenheid is bevestigd door ons gezamenlijk lijden”, atau “Kesatuan kami diteguhkan dalam penderitaan bersama.”. Sedangkan di bagian belakang kompleks terdapat makam wanita dan anak-anak yang merupakan warga sipil. Mereka umumnya merupakan korban eksekusi yang dilakukan di kamp tawanan perang di Indonesia.

Simultaankerk

Eveline mengajak kami masuk ke Gereja Simultan (Simultaankerk).Walaupun disebut gereja, tempat ini berfungsi sebagai tempat upacara sebelum jenazah dimakamkan, dan saat ini bangunan tersebut digunakan sebagai tempat peringatan. Setidaknya setiap tahunnya Ereveld Menteng Pulo menyelenggarakan dua kali peringatan, yaitu pada tanggal 14 Mei untuk memperingati berakhirnya perang dunia II di Eropa, serta pada tanggal 15 Agustus sebagai peringatan berakhirnya perang dunia II di Asia Tenggara.Di dekat altar Gereja Simultan terdapat salib kayu besar. Salib ini terbuat dari bantalan rel kereta api, sebagai peringatan korban perang yang dipaksa militer Jepang untuk membangun jalur kereta api antara Siam dan Burma. Para korban berasal dari beberapa negara, yaitu Australia, Belanda, Inggris, dan Amerika.

Salib Dari Kayu Rel Kereta Api
Di sisi kanan Gereja Simultan terdapat Columbarium (rumah abu), yang dibangun pada tahun 1950. Bangunan ini ditopang deretan pilar berwarna putih dengan sebuah kubah berwarna tosca di atasnya. Columbarium menyimpan 754 guci logam berisi abu jenazah para prajurit Belanda yang menjadi tawanan perang Jepang terutama mereka yang menjadi korban dalam pembangunan jalur rel Siam-Birma. Ketika mereka meninggal pihak militer Jepang melakukan kremasi pada jenazahnya. Pada setiap guci tertulis nama, pangkat, tanggal lahir, dan tanggal wafat.

Deretan Guci Abu di Columbarium
Baik Gereja Simultan maupun Columbarium dihiasi dengan kaca patri berwarna-warni. Tepat di bawah kubah berwarna tosca, terdapat meja yang di atasnya terdapat satu buah guci abu, serta relief wanita yang di atas kepalanya tertulis “De geest heeft overwonnen”, yang berarti “roh telah menang”. Kalimat ini merupakan semboyan dari Seksi Pemakaman Angkatan Darat Belanda. Meja dan relief ini merupakan tanda peringatan bagi mereka yang wafat dan tidak dikenal.

Peringatan Bagi Mereka Yang Tak Dikenal
Dari Ereveld Menteng Pulo, kami masuk melalui sebuah pintu kecil menuju Jakarta War Cemetery (JWC) yang bersebelahan pagar dengan Ereveld Menteng Pulo. Pemakaman ini merupakan tempat peristirahan terakhir korban perang dari tentara Sekutu yang berasal dari negara-negara Persemakmuran Inggris. Tempat ini dikelola oleh Commonwealth War Graves Cemetery (CWGC), yang merupakan mitra dari OGS dalam mengelola makam orang-orang Belanda yang dimakamkan di pemakaman korban perang dari Inggris.

Jakarta War Cemetery
Berbeda dengan Ereveld Menteng Pulo yang juga digunakan sebagai makam korban perang sipil, Jakarta War Cemetary yang didesain oleh Ralph Hobday O.B.E., arsitek senior dari CWGC, hanya diperuntukkan bagi personil militer anggota tentara Persemakmuran yang berasal dari Inggris, India, Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Afrika Selatan, yang gugur pada pertempuran antara tahun 1942-1949. Di awal berdirinya, tempat ini memiliki 474 makam. Pada tahun 1961, atas permintaan pemerintah Republik Indonesia, makam para prajurit Persemakmuran yang berada di Ereveld Kembang Kuning, Palembang, Medan, dan Muntok dipindahkan ke JWC, sehingga total makam yang ada sekarang berjumlah 1181 makam.

Jakarta War Cemetery
Berbeda dengan ereveld yang menggunakan nisan berbentuk patok, nisan di JWC menggunakan marmer prasasti dengan posisi horizontal. Di masing-masing nisan tertulis nama, pangkat, lambang kesatuan, agama (dilambangkan dengan huruf Arab, tanda salib,bintang Daud, atau aksara Hindi), dan tanggal kematiannya. Di setiap nisan juga ditulis kata-kata mutiara dari keluarga. Yang khas dari pemakaman ini adalah adanya taman kecil di sisi kiri-kanan dari setiap nisan.

Kelompok Makam Prajurit Persemakmuran dari India dan Pakistan
Seperti halnya Ereveld Menteng Pulo, para prajurit yang dimakamkan di tempat ini memiliki pangkat yang beragam, dari mulai prajurit rendah hingga perwira tinggi. Terdapat kelompok makam yang khusus bagi para prajurit yang direkrut Inggris dari India atau Pakistan, di mana nisan mereka ditandai dengan tulisan Arab atau tulisan Hindi. Pasukan India ini bukanlah pasukan Gurkha, dan berasal dari beberapa suku di India.

Makam Brigadir Mallaby
Salah satu perwira tinggi yang dimakamkan di tempat ini adalah Brigadier A.W.S. Mallaby. Nama ini tidak asing bagi penggemar sejarah revolusi Indonesia, karena merupakan Mallaby yang gugur di Surabaya pada tanggal 30 Oktober 1945, dan kematiannya memicu “Pertempuran Surabaya 10 November 1945”. Makam Brigadir Mallaby juga tidak berbeda dengan para prajurit yang lain. Semula makam Mallaby terletak di Surabaya, dan baru pada tahun 1947 dipindah ke Jakarta.

Wisata Pemakaman PD II (1): Ereveld Antjol

Ereveld, atau Makam Kehormatan, adalah kompleks pemakaman yang dibangun pemerintah Belanda sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi para korban perang dunia II. Keberadaan makam ini bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga sebagai pengingat agar para korban dan kisah-kisah mereka akan tetap dikenang, dan penggalan sejarah kelam ini mendapat perhatian dan pengakuan sebagaimana layaknya.

Gerbang Ereveld Ancol
Siang itu Bang Adep dan Pak Rushdy Hosein memimpin kami, rombongan Pelesiran Tempo Doeloe, mengunjungi Ereveld Ancol yang terletak di dalam Kompleks Taman Impian Jaya Ancol, tepat di sisi timur Pantai Carnaval. Cuaca yang panas sekaligus lembab tidak membuat semangat kami surut untuk segera menjelajahi area pemakaman. Namun sesaat setelah kami menginjakkan kaki di dekat area pemakaman, keheningan menyergap kehadiran kami. Terlihat deretan nisan berwarna putih – kebanyakan berbentuk salib – berjajar di antara hamparan rumput hijau yang asri. Sangat jauh dari suasana mencekam dan tidak nyaman yang dibayangkan sebelumnya.

Tampak Depan Ereveld Ancol
Sebelum masuk ke area pemakaman, Miss Eveline de Vink, sukarelawan dari OGS, dan pak Dicky, “kuncen” dari Ereveld Ancol, menjelaskan kisah berdirinya Ereveld Ancol. Berawal dari berakhirnya Perang Dunia II, pada tahun 1946 pemerintah Belanda bermaksud mendata berapa jumlah sebenarnya korban dari pihak Belanda. Dalam proses pendataan, mereka tiba di kawasan rawa di daerah Ancol. Setelah bertanya kepada banyak saksi mata, serta memperoleh informasi dari seorang biksu bisu tuli di Kelenteng Bahtera Bakti yang terletak tak jauh dari rawa tersebut, diketahui bahwa rawa tersebut merupakan tempat eksekusi tawanan oleh tentara Jepang.

Penjelasan Ms. Eveline di Pendopo
Pemerintah Belanda membersihkan rawa tersebut, menggali pemakaman massal, kemudian memakamkan kembali kerangka para korban eksekusi di tempat tersebut dan mendirikan Ereveld Ancol sebagai ereveld pertama yang didirikan di Indonesia. Selanjutnya Ereveld Ancol juga menerima beberapa makam yang dipindahkan dari pemakaman Belanda di tempat lain, seperti dari Banjarmasin, Pontianak, Medan, Makassar, dan Mandor. Di antara 2000 makam di tempat ini, terdapat 128 makam tentara Inggris dan Australia yang merupakan korban eksekusi tentara Jepang.

Setelah Eveline selesai menceritakan latar belakang Ereveld Ancol, kami diperkenankan masuk ke area pemakaman. Ada rasa yang bercampur aduk ketika kami berjalan di antara nisan-nisan tersebut. Khususnya di dekat nisan yang bertulisan “Geëxecuteerd” (berarti “korban eksekusi”), tidak terbayangkan apa yang terjadi pada masa itu, seperti apa suasananya, berapa banyak korbannya. Melihat nisan-nisan tersebut, seolah kami diingatkan bahwa perang akan selalu menyisakan kepiluan.

Makam Korban Eksekusi di Mandor
Dari bentuk nisannya, dapat diketahui agama mereka yang dimakamkan di tempat tersebut, apakah Kristen, Islam, Buddha, atau Yahudi. Terdapat nisan khusus yang menunjukkan pemakaman massal (verzamelbord). Beberapa makam terlihat bertuliskan “Onbekend”, yang berarti “tidak dikenal”. Eveline mengingatkan bahwa walaupun kita diperkenankan memotret makam, namun jika foto tersebut akan diunggah ke media social, mohon agar nama-nama pada nisan dapat disamarkan, karena tidak semua ahli waris berkenan nama-nama mereka yang dimakamkan di ereveld tersebut beredar secara luas.

Tampak Belakang Nisan di Ereveld Ancol
Sambil berjalan di area pemakaman, pak Rushdy mengisahkan sejarah Prof. Dr. Achmad Mochtar, dokter dan ilmuwan Indonesia lulusan STOVIA dan merupakan orang Indonesia pertama yang menjabat direktur Lembaga Eijkman.Pada masa pendudukan Jepang, para peneliti Lembaga Eijkman ditangkap oleh pihak militer Jepang dengan tuduhan pencemaran vaksin tetanus yang menewaskan 900 romusha di Klender. Prof. Mochtar bernegosiasi dengan pihak militer Jepang, di mana ia menyetujui mengakui tuduhan sabotase tersebut, bila para koleganya dilepaskan.

Makam Prof. Achmad Mochtar
Prof. Mochtar kemudian dieksekusi militer Jepang pada tanggal 3 Juli 1945, namun makamnya tidak pernah diketahui. Melalui investigasi pada tahun 2010 yang dilakukan Direktur Lembaga Eijkman Sangkot Marzuki dan koleganya Kevin Baird, mereka menemukan informasi keberadaan makam prof. Mochtar di Ereveld Ancol melalui dokumen milik Institut Dokumentasi Perang di Amsterdam. Selanjutnya pada tanggal 3 Juli 2010 dilakukan seremoni di makam prof. Mochtar.

Pohon Surga
Di salah satu sudut pemakaman terdapat (bekas) pohon Mindi atau Alianthus excelsa, dikenal juga sebagai Pohon Surga karena ranting-ranting pohon tersebut menengadah ke atas seperti orang berdoa. Menurut saksi mata, eksekusi tawanan di Ancol dilakukan tentara Jepang di bawah pohon tersebut, di mana saat itu merupakan satu-satunya pohon besar yang tumbuh di tempat tersebut. Pada batang pohon Mindi tersebut dipasang prasasti penggalan puisi “For the Fallen” karya Laurence Binyon:

They shall grow not old, as we that are left grow old:
Age shall not weary them, nor the years condemn.
At the going down of the sun and in the morning
We shall remember them. 
We shall remember them

Antjol, 1942-1945

Sebuah makam terletak terpisah dari deretan nisan yang lain, tak jauh dari pohon Mindi. Menurut Eveline, makam atas nama L. Ubels tersebut memiliki kisah istimewa. Luchien Ubels, atau biasa dipanggil Luut, adalah sekretaris di salah satu bank di Batavia. Sedangkan adiknya, Lambert, bekerja di Algemeen Landbouw Syndicaat (ALS) di Batavia. Pada bulan Juni tahun 1943, Direksi ALS menandatangani Deklarasi Kesetiaan kepada pemerintah kolonial Jepang. Lambert dan beberapa temannya membuat petisi menentang kebijakan tersebut. Pada 27 Agustus 1943, tentara Jepang tiba di kediaman keluarga Ubels, mencari L. Ubels atau Lambert yang terlibat dalam petisi tersebut. Namun karena Luut memiliki inisial yang sama, Luut mengaku bahwa ia yang dicari, dan kemudian ditangkap oleh tentara Jepang. Dalam tahanan Jepang, Luut juga menolak menandatangani Deklarasi Kesetiaan kepada Kempetai. Pada bulan September 1943 Luut dieksekusi bersama 18 orang ALS di Ancol.Kisah pengorbanan Luut ini baru diketahui Lambert dan keluarganya setelah perang berakhir.

Peristirahatan Terakhir Luut Ubels dan Tugu di Tengah Ereveld Ancol
Selain berziarah ke pemakaman, di Ereveld Ancol kita juga bisa menyaksikan teknologi tanggul khas Belanda. Tanggul ini dibuat pada tahn 2007 untuk mencegah air pasang masuk ke area ereveld, mengingat Ereveld Ancol terletak tepat di bibir pantai, hanya di ketinggian 50 cm di atas permukaan air. Tanggul ini diresmikan pada 25 Februari 2010, dan diberi nama “Stenen Kustdijk”, berasal dari nama P. Steenmeijer, direktur OGS Indonesia dan R. Da Costa, Kepala Bagian Teknik OGS Indonesia yang memimpin pembangunan tanggul. Apabila posisi air pasang  tinggi dan berisiko terjadi banjir di ereveld, pompa-pompa di tanggul akan menyala untuk memompa air keluar dari kompleks ereveld.

Sunday, October 21, 2018

Meet Me Under The Pring

Jam 05.30, telepon kamar berdering, rupanya kami sudah ditunggu di lobi untuk ke Pasar Papringan! Bu Indah, kepala rombongan kami, mengatakan agar kami segera berangkat, takut terjebak kemacetan. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, waktu menunjukkan pukul 06.30 saat kami masuk ke Desa Ngadiprono. Dari tempat parkir, kami masih harus berjalan sekitar 500 meter sebelum menemukan titik nol Pasar Papringan. Inilah pasar unik yang sedang hype di dunia Instagram.

Find Me Under the Pring!
Pasar Papringan digagas oleh Singgih Susilo Kartono, putra asli Desa Kandangan, Temanggung. Melalui Lembaga Swadaya Masyarakat Spedagi, Singgih dan tim mengubah kebun bambu menjadi sebuah destinasi wisata pasar tradisional. Singgih sendiri dikenal terlebih dahulu sebagai pembuat radio kayu Magno, dan sepeda bambu Spedagi yang telah diekspor ke luar negeri. Sejak didirikan pada tahun 2015, pasar ini hanya buka pada Minggu Wage dan Minggu Pon, dari pukul 6 pagi hingga 12 siang. Pada awalnya pasar ini berlokasi di Kandangan, namun sejak tahun 2017 berpindah lokasi ke Ngadiprono.

Titik Nol Km Pasar Papringan
Sebelum berbelanja, kami harus menukar uang dengan mata uang Pasar Papringan: Pring (dalam bahasa Jawa, Pring berarti bambu). Keping pring terbuat dari bambu dengan setiap pring memiliki "kurs" 2000 rupiah. Rata-rata makanan ringan seharga 1-3 pring, makanan berat seharga 3-6 pring, minuman seharga 1-2 pring, hasil tani 1-15 pring, serta kerajinan tangan 1-5 pring. Keping pring tidak bisa ditukarkan kembali dengan uang, namun dapat digunakan kembali pada gelaran Pasar Papringan berikutnya, atau dijadikan suvenir. Saya sendiri menukarkan 20 pring (senilai Rp 40.000), dengan perhitungan saya hanya akan melakukan wisata kuliner atau membeli kerajinan tangan berukuran kecil.

Pring, Mata Uang Pasar Papringan
Para pedagang di Pasar Papringan merupakan masyarakat lokal Desa Ngadiprono, yang khusus dilatih untuk terlibat dalam Pasar Papringan. Menurut mas Yudi, kurator sekaligus pembina kuliner Pasar Papringan, butuh waktu untuk melatih penduduk Ngadiprono, karena pada dasarnya pekerjaan mereka sehari-hari bukanlah pedagang atau penjual makanan. Komoditas favorit di Pasar Papringan adalah kuliner tempo doeloe. Sesuai kebijakan untuk menggunakan bahan-bahan alami, kuliner yang tersedia di sana tidak menggunakan gula buatan, MSG, dan pewarna buatan. Ketika dicoba, memang rasanya beda ya... (agak sulit diungkapkan dengan kata-kata, karena hanya ada “enak” dan “uenak”).

Salah Satu Jajanan di Pasar Papringan
Kami beruntung datang cukup pagi, sehingga masih bisa mencicipi hampir seluruh makanan yang dijual di sana. Saya hanya "sempat" mencicipi dawet ireng, wedhang ronde, dan beberapa jenis jajan pasar, karena hampir semua counter penuh sesak oleh pengunjung. Rondenya unik, karena diberi emping. Saya sudah "berburuk sangka" rasa emping yang umumnya getir akan merusak rasa wedhangnya. Ternyata tidak sama sekali!

Kerajinan Tangan dari Bambu
Selain kuliner khas Jawa Tengah, di Pasar Papringan juga tersedia produk hasil tani masyarakat lokal dan kerajinan tangan dari bambu dan batok kelapa. Di antara kerajinan tangan yang dijual, terdapat sendok batok, gelas bambu, mainan anak-anak dari bambu. Barang-barang kerajinan seperti sendok batok dan gelas batok serupa dengan yang digunakan untuk berjualan makanan, bahkan bisa dikatakan semua “peralatan” yang digunakan di pasar ini terbuat dari bambu atau bahan organik lainnya, termasuk keranjang sampah dan dinding pembatas antara area berjualan dengan area cuci piring. Untuk berbelanja, pengunjung bisa membeli keranjang bambu seharga 2 pring.

Pedagang Hasil Tani di Pasar Papringan
Ketika kami berjalan kembali ke tempat parkir, alamak, ternyata antrian "money changer" sudah mengular. Dari arah pintu masuk, semakin banyak orang yang berjalan masuk ke pasar. Kami mempercepat langkah kaki menuju tempat parkir, daripada terjebak dalam lautan manusia di Pasar Papringan... Pembludakan pengunjung ini di luar prediksi pengelola, terutama setelah video tentang pasar papringan Ngadiprono beredar di dunia maya. Dan ketika saya membuka akun IG Pasar Papringan, mereka mengumumkan bahwa hari ini terpaksa menutup tempat parkir lebih awal pada pukul 8 pagi. Untung tadi kami datang pagi-pagi!

Sunday, October 14, 2018

Posong Yang Tidak Kosong

Waktu masih menunjukkan pukul 4.30 dinihari ketika bu Indah dan Anis mengordinir sekumpulan tukang ojek untuk mengantar kami dari jalan raya Temanggung-Wonosobo, tak jauh dari jembatan Kledung, menuju sunrise spot Posong. Di tengah kegelapan malam, motor yang kami kendarai beriring-iringan melewati jalanan yang bergerenjul menembus hutan. Terlihat siluet batang-batang pohon menjulang di kiri kanan jalan, ah, tampaknya kami tengah melewati hutan pinus.

Wisata Alam Posong merupakan obyek wisata yang “relatif baru” di Kabupaten Temanggung. Nama “Posong” konon diambil dari kata “kosong”. Nama ini berasal dari masa Perang Diponegoro, di mana di tempat pasukan Pangeran Diponegoro mendirikan pos kosong untuk mengelabui tentara kolonial Belanda. Posong sendiri berlokasi di lembah Gunung Sindoro, dan jika cuaca cerah, dari tempat ini dapat terlihat 7 puncak gunung, termasuk Sindoro-Sumbing, Merapi-Merbabu, puncak Telomoyo, bukit Ungaran, dan gunung Muria.

Fajar Merekah di Balik Gunung Sumbing
Setelah berkendara sejauh 3,5 km, tibalah kami di sunrise spot. Bunyi adzan mengingatkan kami pada waktu shalat Subuh, spontan kami melihat jam tangan, waktu masih menunjukkan pukul 04.30 WIB. Masih cukup waktu untuk shalat, sambil menunggu matahari terbit di ufuk. Pukul 05.00, fajar berwarna merah mulai merekah sedikit demi sedikit. Terlihat siluet gunung Sumbing di sisi timur cakrawala. Harap-harap cemas, akankah kami menikmati golden sunrise yang sempurna, dengan banyaknya lembayung yang menggantung di ufuk timur?

Edelwiess dan Bunga Tembakau
Ketika langit semakin terang, tampaknya harapan untuk melihat sunrise semakin menipis. Namun petualangan belum berakhir. Bu Indah mengajak kami untuk melihat bunga Edelweiss di sisi atas sunrise spot. Ternyata rumpun bunga Edelweiss tersebut berada di tepi kebun tembakau yang baru saja dipanen daunnya, menyisakan batang-batang pohon tembakau dengan bunga-bunga mungil di atasnya. Bunga-bunga Edelweiss tersebut sangat menggoda untuk dipetik. Tapi please, jangan sekali-kali memetik bunga tersebut, biarkan mereka hidup di habitatnya.

Ray of Light
Ketika kami sedang menikmati foto-foto di atas, barulah sang mentari menampakkan diri di antara lembayung fajar, memperlihatkan siluet gunung-gunung lainnya. Dari kejauhan, terlihat puncak gunung Ungaran yang menjulang di antara lautan awan. Rasanya makjleb melihat ray of light yang menembus di antara lautan awan, menyinari gunung yang berdiri dengan gagah. Sungguh merupakan momen yang tepat untuk mensyukuri alam indah karunia Tuhan.

Lautan Awan
Dalam perjalanan kembali ke jalan raya Temanggung-Wonosobo, baru kami melihat bahwa yang semula kami pikir merupakan hutan pinus, ternyata merupakan perkebunan tembakau. Sesuai keterangan mamang ojek, baru kami tahu bahwa karena kami datang bertepatan dengan musim panen tembakau, mobil tidak boleh naik sampai ke sunset spot, sehingga perjalanan dari jalan raya Temanggung-Wonosobo harus kami tempuh dengan ojek.

Tempat Menjemur Tembakau
Di dekat jalan raya, Bu Indah mengajak kami mampir ke rumah penduduk yang memproses tembakau hasil panen. Rupanya tembakau yang sudah dipanen kemudian ditentukan grade-nya, kemudian diperam (diimbon) di dalam ruangan yang tidak boleh kena angin atau panas, agar daun terfermentasi dan tumbuh jamur. Setelah terfermentasi dan warnanya kehitaman, daun dirajang halus, dicampur gula pasir, kemudian ditata pada irig untuk dijemur. Rajangan tembakau yang sudah kering kemudian dimasukkan ke dalam keranjang berkapasitas 40-50 kg, untuk kemudian diserahkan kepada pabrik rokok. Harga keranjangnya sendiri kurang lebih Rp 200.000 per keranjang, sedangkan harga tembakau rata-rata antara Rp 50.000-90.000 per kg, sehingga 1 keranjang penuh tembakau dapat mencapai harga Rp 4.500.000,-

Mbak Penjual Nasi Jagung di Pasar Entho
Perjalanan mengejar sunset pagi ini “berakhir” di Pasar Entho, yang dikenal sebagai pusat jajanan tradisional di Kecamatan Parakan. Untuk sarapan pagi, bu Indah menyarankan kami mencoba nasi jagung. Bayangan saya, yang namanya nasi jagung itu bertekstur kasar dengan ada bulir-bulir jagung diantaranya. Ternyata salah besar! Nasi jagung yang kami santap justru bertekstur sangat halus, lebih halus daripada ampas kelapa. Belum lagi jajanan pasar lainnya, rasanya tidak kepengen pergi sebelum memborong semua jajan pasar di pasar tersebut.

Tuesday, July 17, 2018

Ganesha di Tengah Kebun

Hari ini saya bergabung dengan Indonesia A-Z dan Indoreadgram, komunitas yang bertujuan meningkatkan minat baca lewat berbagi bacaan dan kegiatan literasi, untuk berkunjung ke Museum di Tengah Kebun. Di akhir acara, kami akan melakukan sharing session mengenai menulis pengalaman berkunjung ke museum. Mengapa museum ini yang dipilih menjadi obyek? Museum di Tengah Kebun sangat unik, karena merupakan museum swasta milik perorangan. Museum ini didirikan oleh Bapak Sjahrial Djalil, seorang tokoh periklanan modern Indonesia. Museum ini menempati rumah tinggal pak Iyal (demikian panggilan akrabnya), dengan isi museum adalah koleksi barang antik dan barang bersejarah yang dikumpulkan Pak Iyal sejak masa remajanya.

Setelah seluruh rombongan dari komunitas Indoreadgram tiba, mas Rian, pemandu dari Museum di Tengah Kebun, membuka perjalanan kami dengan penjelasan singkat mengenai museum dan peraturan yang harus kami patuhi selama berkunjung. Dibangun di atas lahan seluas 4200 meter persegi, dan sebagian dibangun menggunakan sisa bangunan bersejarah. Di antaranya terdapat batu bata dari bekas gedung VOC dan bekas gedung metrologi di Tugu Tani, serta engsel pintu dari penjara wanita di Bukit Duri.

Indoreadgram: Baca, Beraksi, Bermedia
Museum ini menyimpan tidak kurang dari 4000 koleksi dari Indonesia dan mancanegara yang disimpan dalam 17 buah ruangan. Pak Iyal mengumpulkan koleksi benda seni ini bukan sekadar untuk memuaskan hasratnya dalam bidang arkeologi, tetapi juga untuk memenuhi cita-cita beliau mengembalikan benda-benda budaya Indonesia yang ada di luar negeri. Khusus koleksi dari luar negeri, pak Iyal memperolehnya dari balai lelang Christie. Beliau tidak mau membeli dari perorangan, untuk menjamin keaslian barang yang diperoleh. Sayangnya, seiring menurunnya kondisi kesehatan pak Iyal, sejak tahun 2012 beliau tidak lagi melakukan perjalanan ke luar negeri untuk mencari benda-benda seni.

Sambil mengantar kami masuk ke ruang pertama, mas Rian menjelaskan bahwa koleksi di Museum di Tengah Kebun tidak ditata secara tematik, melainkan sesuai selera pak Iyal. Nama ruangan disesuaikan dengan koleksi yang paling dominan atau koleksi favorit. Seperti di ruangan pertama, ruangan ini memiliki dua pasang patung loro blonyo, sehingga dinamakan ruang Loro Blonyo. Loro Blonyo menggambarkan sepasang pengantin berbusana Jawa yang diwakili oleh Dewa Wisnu dan Dewi Sri. Sepasang dewa-dewi ini menggambarkan kemakmuran dan kesuburan, sehingga memasang patung ini di rumah diharapkan dapat membuat penghuni rumah tersebut ketularan berkah kemakmuran dan kesuburan.

Loro Blonyo
Ruangan berikutnya adalah living room yang diberi nama Ruang Buddha Myanmar, dengan keberadaan arca perunggu yang menggambarkan Buddha dan berasal dari Myanmar. namun yang paling menarik perhatian kami justru sofa yang ditata dengan cantik. Kami bergantian berfoto di sofa ini. Sebagai latar belakang, di atas sofa terdapat hiasan kepala rusa dari Madura. Kepala rusa tersebut terbuat dari kayu, namun tanduknya berasal dari rusa. Ruangan ini dilengkapi dengan toilet yang juga dihiasi beberapa benda seni.

Sofa Ruang Buddha Myanmar
Walaupun bernama ruang Buddha Myanmar, ruangan ini juga menyimpan beberapa arca Buddha dari negara lain. Di antara beberapa arca Buddha di ruangan ini, arca yang paling menarik perhatian saya adalah arca Tathagata Aksobya yang terbuat dari perunggu dan disimpan di dalam lemari. Arca yang berasal dari Tibet abad ke-16 ini menggambarkan salah satu dari Lima Buddha Kebijaksanaan dalam aliran Buddha Tantrayana. Saya jarang menemukan arca Buddha yang secara spesifik disebut sebagai Tathagata. “Tathagata” adalah cara Sang Buddha menyebut dirinya sendiri dalam Kitab Pali, dan nama ini sejatinya merupakan asal dari nama belakang saya.

Arca Tathagata Aksobya
Saat kami sibuk melihat koleksi sekaligus berfoto, mas Rian menyampaikan bahwa pak Iyal baru selesai berjemur dan berkenan menemui kami. Satu per satu kami menghampiri pak Iyal dan bersalaman dengan beliau. Karena kondisi kesehatannya, saat ini pak Iyal lebih banyak menghabiskan waktunya di atas kursi roda, dan aktivitas beliau lebih banyak dibantu oleh asisten merangkap perawat. Namun hal ini tidak mengurangi semangat pak Iyal untuk berinteraksi dengan tamu yang mengunjungi Museum. Beliau bahkan bersedia berfoto bersama kami.

Indoreadgram dan Pak Sjahrial Djalil
Setelah berfoto dengan pak Iyal, mas Rian membawa kami ke Ruang Dewi Sri. Ruangan ini merupakan ruang makan, lengkap dengan meja makan dan perangkat makan yang masih digunakan oleh pak Iyal. Ruang makan ini dilengkapi dengan dapur yang juga masih digunakan. Di atas lemari dapur terpasang Patung Penjaga Dapur asal Jawa Timur. Menurut mas Rian, patung tersebut dipasang untuk mengusir pengganggu di dapur, seperti kucing yang suka mencuri makanan.

Patung Penunggu Dapur
Sebelum masuk ke ruang kerja pak Iyal, kami berhenti di jembatan yang melintasi kolam kecil. Di dekat pintu masuk ruang kerja pak Iyal terdapat arca Wisnu yang berasal dari Kedu di abad ke-10. Arca tersebut ditemukan dalam keadaan tertelungkup, dan penduduk memanfaatkan bagian belakang arca untuk mengasah benda-benda tajam. Untuk "menyelamatkan" arca tersebut, pak Iyal "menukar" arca tersebut dengan membangun sekolah dan fasilitas umum.

Arca Wisnu
Setelah melihat ruang kerja pak Iyal yang sekaligus merangkap sebagai perpustakaan dan tempat menyimpan beberapa koleksi, kami diperkenankan masuk ke kamar tidur pak Iyal, di mana pak Iyal tengah beristirahat. Yang istimewa adalah kamar mandinya yang berukuran 9x11 meter, lebih besar daripada ukuran kamar tidurnya. Selain dilengkapi peralatan standar kamar mandi, ruangan ini juga berisi beberapa benda koleksi seni, di antaranya adalah Patung Singa Garuda dari Bali.

Kamar Mandi pak Sjahrial Djalil
Dari kamar tidur pak Iyal, mas Rian membawa kami ke Ruang Khazanah yang menyimpan berbagai koleksi perhiasan serta benda-benda keramik dari Dinasti Tang. Di dekat pimtu masuk Ruang Khazanah, terdapat arca Bodhisatwa Wajrapani. Arca ini buatannya sangat halus dan masih utuh, sehingga harganya sangat tinggi saat dilelang di Balai Lelang Christie. Untuk membeli arca ini, pak Iyal harus menjual 2 apartemennya di Amerika Serikat. Harga arca tersebut (saat itu) setara 1 miliar Rupiah, sehingga bisa jadi arca ini merupakan koleksi termahal di Museum di Tengah Kebun.

Boddhisatwa Vajrapani
Pak Iyal juga banyak mengoleksi keramik dari Jepang dan Tiongkok. Sebagian besar koleksi keramik ini diletakkan di Ruang Tamu. Dari koleksi tersebut terlihat perbedaan keramik asal Jepang dan asal Tiongkok. Keramik asal Jepang umumnya penuh warna, sedangkan keramik asal Tiongkok lebih sederhana. Selain itu terdapat patung Shaulau dari gading yang digunakan untuk mengabadikan wajah leluhur keluarga bangsawan Tiongkok di masa dinasti Ming.

Shaulau Gading
Di balik Ruang Tamu terdapat Ruang Majapahit, yang menyimpan koleksi patung terakota dari masa Majapahit. Patung terakota yang menggambarkan dewa dewi masa Hindu-Buddha merupakan hal yang umum ditemukan di area yang diperkirakan merupakan daerah kekuasaan Majapahit. Namun pak Iyal memiliki satu koleksi unik, yaitu arca terakota Dewi Kwan Im dari masa Majapahit. Ini membuktikan bahwa pada masa itu telah terjadi hubungan antar kedua bangsa.

Arca Dewi Kwan Im dari terakot
Mas Rian kemudian membawa kami menuju ruangan terakhir, yang disebut Ruang Wilhelm. Nama ruangan ini berasal dari lukisan dan patung dada Raja Wilhelm II dari Jerman. Sebagian besar koleksi di ruangan ini merupakan barang-barang dari perak, namun koleksi yang paling menarik adalah miniatur sayur dan buah yang terbuat dari gading gajah. Koleksi dari abad ke-19 di India ini diletakkan di sebuah talam perak dari Perancis.

Miniatur Sayur dan Buah
Akhirnya kami tiba di bagian favorit dari museum ini, yaitu kebun bagian dalam museum. Mas Rian memberi waktu kepada rombongan kami untuk berkeliling kebun selama 30 menit. Di kebun ini terdapat 2 buah gazebo, dan masing-masing menyimpan beberapa benda koleksi. Kebun ini juga dilengkapi dengan kolam renang. Adapun koleksi terbanyak yang dipasang di tengah kebun adalah arca. Sebagian arca tersebut masih dalam keadaan utuh, namun sebagian lainnya ada yang dalam keadaan sudah tidak sempurna.

Kebun Arca
Di antara arca-arca yang tersebar di kebun, yang paling menonjol adalah arca Ganesha berukuran besar yang terletak di balik daun-daunan tepat di seberang gazebo, dan merupakan ikon dari Museum di Tengah Kebun. Arca seberat 3,5 ton yang melambangkan Dewa Ilmu Pengetahuan ini berasal dari daerah Kedu dan diperkirakan pada tahun 800-an. Menurut mas Rian, untuk membawa arca ini dilakukan secara diam-diam di malam hari, agar tidak menimbulkan keributan dengan penduduk sekitar di tempat arca ini ditemukan. Arca ini bukanlah satu-satunya arca Ganesha yang ada di Museum di Tengah Kebun, karena saya menemukan beberapa arca Ganesha lainnya dengan ukuran yang berbeda-beda. Jadi, manakah arca Ganesha favoritmu? Favorit saya tentu saja arca Ganesha yang paling besar!

Mana Ganesha Favoritmu?
Untuk bisa mengunjungi museum unik yang terletak di Jl. Kemang Timur Raya No. 66 ini, pengunjung harus melakukan reservasi minimum 2 minggu sebelum tanggal kunjungan. Tidak ada biaya tiket masuk, namun museum hanya buka setiap hari Sabtu dan Minggu, pukul 09.00-15.00. Pada saat buka pengelola museum hanya menyediakan slot untuk 2 rombongan dengan kapasitas masing-masing rombongan minimum 7 orang dan maksimum 15 orang.

Tuesday, July 10, 2018

(Bukan) Museum Pergamon

Museum Pergamon. Membaca namanya saja sudah membuat tertarik untuk mengunjungi. Museum yang terletak di Kota Berlin ini menyimpan koleksi barang antik, benda-benda dari Timur Tengah, serta kesenian Islam. Koleksi primadonanya adalah Altar Pergamon, Gerbang Ishtar Babilonia, rekonstruksi Gerbang Pasar Miletus dari reruntuhan di Anatolia, serta Fasad Mshatta, membuat saya semakin penasaran untuk mengunjunginya.

Katedral di Sungai Spree
Siang itu kami mendarat di Museumsinsel (Museum Island), sebuah pulau buatan di atas Sungai Spree di tengah Kota Berlin, Tempat ini telah dibangun sejak tahun 1797, dan secara bertahap berdiri museum-museum berikut: Altes Museum (Old Museum), Neues Museum (New Museum), Alte Nationalgalerie (Old National Gallery), Bode Museum, dan Pergamon Museum. Tentu saja, kami sangat ingin melihat Museum Pergamon, museum yang terbaru (walau sudah dibangun sejak 1930) sekaligus yang paling terkenal. Namun ketika kami tiba di bangunan Pergamon Museum, terlihat antrian panjang menanti kehadiran kami. Alamak, panjang antriannya melebihi antrian wahana di Dufan! Akhirnya setelah melihat situasi panjang antrian, kami memutuskan untuk masuk ke Neues Museum yang antriannya tidak terlalu panjang.

Salah Satu Arca Mesir di Neues Museum
Neues Museum merupakan museum kedua yang didirikan di Museuminsel. Dibangun antara tahun 1843 dan 1855, nama Neues Museum diberikan karena sebelumnya di tempat ini sudah ada Konigliches Museum yang berganti nama menjadi Altes Museum. Museum didirikan untuk menampung koleksi yang sudah tidak bisa disimpan di Altes Museum. Bangunan museum dirancang oleh Friedrich August Stuler dengan konsep museum untuk menampilkan adikarya seni seperti lukisan-lukisan dari pelukis Eropa sebelum abad ke-19, serta patung-patung klasik dari masa Yunani dan Romawi kuno.

Lukisan Dinding

Museum sempat tutup ketika Perang Dunia II dimulai pada tahun 1939, dan rusak berat akibat pengeboman Kota Berlin. Sempat ditelantarkan selama bertahun-tahun, pembangunan kembali museum ini sempat dicoba pada tahun 1986, namun terhenti karena peristiwa diruntuhkannya Tembok Berlin dan Penyatuan Jerman. Tahun 2003, pembangunan kembali museum dilakukan di bawah koordinasi arsitek asal Inggris David Chipperfield, hingga museum dibuka kembali pada tahun 2009. Saat ini museum menyimpan tidak kurang dari 6000 koleksi dengan tema Jaman Mesir Kuno, Jaman Pra-Sejarah, dan awal Jaman Sejarah.

Firaun dari jauh
Firaun dari dekat

Setelah bersabar mengantri untuk membeli tiket dan masuk ke bangunan Neues Museum, “masalah” baru muncul: museum ini terdiri dari 4 lantai dan sangat besar, padahal kami bermaksud membatasi waktu kunjungan karena masih mau melihat tempat-tempat lain di Kota Berlin. Akhirnya kami memutuskan untuk berfokus pada koleksi dari masa Mesir Kuno yang terdapat di lantai 1 dan basement museum. Kami meminjam alat audio guide berbahasa Inggris untuk bisa mendapatkan penjelasan lebih detail mengenai koleksi museum. Namun pada kenyataannya, alat yang saya gunakan kurang begitu berfungsi, dan informasi yang saya inginkan ternyata sudah tercantum dalam panel-panel di dekat benda koleksi. Beberapa panel bahkan menjelaskan kondisi ruangan sebelum rusak akibat Perang Dunia II, dan ruangan tersebut masih menyimpan sisa interior dari ruangan museum sebelum Perang Dunia II.

Sisa Interior Bangunan Lama
Salah Satu Kubah Museum
Ini adalah pengalaman pertama saya melihat koleksi sejarah Mesir Kuno dari dekat. Peradaban Mesir Kuno sangat kental dalam mempercayai kekuatan gaib dan kehidupan setelah kematian (afterworld). Untuk itu mereka memiliki cara pemakaman yang diyakini sebagai kebutuhan menjamin keabadian setelah kematian, yaitu mumifikasi (pengawetan tubuh) dan penguburan mayat bersama barang-barang yang akan digunakan almarhum di akhirat. Merinding juga ketika saya melewati serta mengamati beberapa koleksi terkait mumifikasi dan peralatan yang digunakan untuk menyimpan organ tubuh serta barang-barang almarhum di dalam makam.

Peralatan Mumifikasi
Guci untuk menyimpan organ tubuh
Dengan perkembangan peradaban, orang Mesir Kuno meletakkan mayat di dalam sarkofagus (peti mati) berupa batu empat persegi panjang atau peti kayu. Setiap sarkofagus memiliki bentuk yang berbeda, karena didesain dengan menyesuaikan pada status dan profesi jenasah yang dimakamkan pada sarkofagus tersebut. Sebagai contoh, foto berikut menggambarkan sarkofagus yang penuh dengan tulisan hieroglif untuk seorang Djehapimu atau petugas audit kerajaan Mesir Kuno. Walaupun koleksi sarkofagus milik Neues Museum diletakkan di tempat terbuka dan terang benderang, tetap saja ada perasaan merinding saat saya berada di dekat benda tersebut.

Sarkofagus Petugas Audit Kerajaan
Koleksi primadona dari Neues Museum adalah patung dada Ratu Nefertiti dari Mesir. Patung yang menggambarkan permaisuri dari Firaun Akhenaten ini dibuat oleh Thutmose, dengan bahan baku batu kapur yang dicat dengan lapisan stucco. Dipercaya dibuat pada tahun 1345 SM, patung ini merupakan adikarya Mesir kuno yang paling banyak direplika. Nefertiti sendiri merupakan ikon kecantikan, karena digambarkan dengan profil yang memiliki leher jenjang, alis anggun, tulang pipi tinggi, hidung mancung, serta senyum dengan bibir merah merekah. Patung dada ini ditemukan oleh tim arkeologi Jerman yang dipimpin oleh Ludwig Borchardt pada tahun 1912 di Mesir, dan tiba di Jerman pada tahun 1913, sebelum dipajang di Neues Museum hingga masa Perang Dunia II. Dalam perjalanannya, patung ini sempat berpindah-pindah tempat, termasuk di gudang bawah tanah sebuah bank, di tambang garam di Merker-Kieselbach, Museum Dahlem, Museum Mesir di Charlottenburg, dan Altes Museum. Patung dada ini akhirnya kembali ke Neues Museum ketika museum dibuka kembali setelah renovasi pada tahun 2009. Sayang sekali, koleksi primadona ini tidak boleh dipotret, dan dijaga ketat oleh petugas sekuriti.

Koleksi Sarkofagus
Sebelum meninggalkan museum, saya memperhatikan patung-patung yang menjadi hiasan taman di sekitar museumsinsel. Terlihat sebuah patung singa berwarna hitam yang menarik perhatian, sehingga saya langsung memotret dan mempostingnya di social media. Patung singa tersebut buatan August Gaul, seorang tokoh seni Jerman dari masa sebelum Perang Dunia I. Patung ini sebenarnya dilengkapi dengan QR code, dan pengunjung yang memindai QR code tersebut akan mendapat telepon dari sang patung dan menceritakan kisahnya. Namun saya melewatkan kesempatan ini, karena saya terlalu memperhatikan kok patung tersebut mirip patung macan Cisewu ya...

Gaul's Lowe