Sunday, August 27, 2017

Dhamma Vihara Sundara, Candi Putih di Tepi Bengawan Solo

Dhamma Vihara Sundara. Nama rumah ibadah umat Buddha Sangha Theravada yang terletak di Jl. Ir. H. Juanda No. 223 B, Pucangsawit, Jebres, Surakarta ini pertama kali diperkenalkan di Instagram, dengan embel-embel “seperti di Thailand”. Tapi impresi itu langsung sirna ketika saya datang ke sana dan melihat sendiri seperti apa vihara tersebut. Sejatinya, vihara ini lebih cantik daripada yang saya bayangkan, jauh lebih cantik dari candi-candi yang pernah saya lihat di Thailand.

Vihara yang terletak tak jauh dari aliran Bengawan Solo ini didirikan oleh Sundara Husea, pengusaha pemilik Sun Motor group. Diresmikan pada 24 Maret 2002, kompleks rumah ibadah ini terdiri dari 2 buah bangunan. Bangunan utama vihara merupakan gedung bertingkat dengan atap berbentuk limasan. Di lantai atas merupakan Ruang Dhammasala (ruang ibadah), sedangkan di bagian bawah digunakan sebagai kantor dan toko yang menjual buku serta video terkait ibadah umat Buddha.Sedangkan bangunan kedua merupakan candi berwarna putih yang menyerupai candi-candi khas kerajaan Nusantara kuno. Saat ini Dhamma Vihara Sundara tidak hanya berfungsi sebagai rumah ibadah, tetapi juga menjadi salah satu tujuan wisata religi di Kota Solo.


Ruang Dhammasala

Memasuki dari pintu utama, kita disambut sepasang patung singa yang menyerupai patung singa penjaga pintu gerbang di Candi Borobudur. Menurut kepercayaan Buddha, singa adalah kendaraan sang Buddha menuju nirwana. Singa juga merupakan symbol dari Sang Buddha, karena singa merupakan raja para binatang yang melambangkan kekuatan, keberanian, kemenangan, serta kemampuan untuk melindungi para penganut agama Buddha. Pada undakan menuju Ruang Dhammasala, terdapat sepasang arca dengan kepala manusia dan berbadan burung. Menaiki undakan menuju Ruang Dhammasala, di cungkup depan bangunan terlihat lukisan kaca patri yang menggambarkan rusa dalam posisi berhadapan dengan mulut mencium roda, serta dua kepala naga dengan mulut terbuka di kedua sudut kaca menghadap ke arah luar. Penggambaran rusa yang mencium roda ini merupakan ikon khas Buddha yang menggambarkan khutbah pertama Sang Buddha di Taman Rusa Isipatana di Sarnath, Varanasi.

Arca Buddha di Ruang Dhammasala

Memasuki Ruang Dhammasala, di bagian altar terdapat arca Buddha berwarna emas dalam posisi kaki bersila, dengan mudra (posisi tangan) telapak tangan kiri terbuka ke atas diletakkan di atas lipatan kaki, dan telapak tangan tertelungkup diletakkan di atas lutut kanan.Posisi ini melambangkan Dhyani Buddha Aksobhya, yang memanggil bumi sebagai saksi. Arca ini diapit oleh patung 2 murid sang Buddha dengan tangan bertangkup di depan dada. Di depan arca-arca tersebut terdapat perlengkapan upacara seperti hio dan lilin. Sehari sebelum ibadah, petugas biasanya akan menata alas duduk dan papan silang tempat kitab suci. Saya menengadah ke atas, ternyata langit-langit ruangan berbentuk kubah. Kubah tersebut dihiasi 8 lukisan kaca patri yang menggambarkan berbagai simbol terkait sang Buddha, seperti dharmachakra, gajah putih, dan pohon bodhi.

Candi Batu Putih
Keluar dari Ruang Dhammasala, saya berjalan ke arah bangunan candi yang terbuat dari batu berwarna putih. Bangunan tersebut berdiri di atas pelataran batu berwarna hitam, dan memiliki arsitektur menyerupai candi-candi Buddha dari masa Mataram Kuno dengan ukuran menyerupai Candi Sojiwan. Di puncak bangunan terdapat sebuah stupa besar yang dikelilingi stupa-stupa kecil. Bagian atas puncak stupa besar dihiasi catra yang terbuat dari logam. Di sisi kiri, kanan, dan belakang, terdapat tiga relief sang Buddha dengan pakaian dan mudra yang berbeda. Pada pintu masuk candi, bagian atasnya dihiasi ornament Kala. Terdapat pintu masuk ke dalam candi, namun pintu masuk tersebut terkunci. Bagi para penggemar candi kuno, bangunan ini seolah merupakan bentuk utuh dari candi-candi Buddha kuno dari Nusantara.

Candi dari batu putih ini di”kawal” oleh sepasang gajah berwarna putih, yang mungkin membuat orang mengatakan bahwa tempat ini seperti di Thailand. Di bagian depan candi terdapat patung Sundara Husea, pendiri Dhamma Vihara Sundara. Patung ini diresmikan pada tanggal 24 Maret 2013, sebagai peringatan atas 3 tahun wafatnya Sundara Husea. Sundara Husea wafat pada tanggal 23 Maret 2010, dan dikremasi di Taman Memorial Delingan, Karanganyar pada 27 Maret 2010.

Tuesday, August 22, 2017

Situs Batujaya, candi-candi masa Tarumanegara di Tengah Sawah

Langit cerah berwarna pucat di atas wilayah Karawang menemani kami, 25 peserta Plesiran Tempo Doeloe, menelusuri pematang beton yang membelah kawasan persawahan menuju situs percandian Batujaya. Berjalan paling depan adalah Pak Dwi Cahyono, peneliti sejarah dan arkeologi, beserta Pak Kaisin, sesepuh Desa Segaran yang sudah berusia lebih dari 80 tahun. Cuaca hari itu lumayan panas, namun kami tetap bersemangat melihat situs candi tertua di Jawa Barat, yang bahkan diduga lebih tua dibandingkan Candi Borobudur dan Candi Prambanan.

Situs percandian Batujaya terletak 50 km di ke arah timur dari Jakarta, atau 47 km ke arah barat laut dari pusat Kota Karawang, tepatnya di kawasan Teluk Karawang yang merupakan bagian dari Teluk Jakarta. Situs ini berada di wilayah seluas 5 km2, meliputi Desa Segaran di Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya di Kecamatan Pakis. Berdasarkan hasil analisis radiocarbon pada sekam padi yang terkandung dalam batu bata yang membangun candi, para ahli menduga Situs Batujaya dibangun pada abad 2-3 Masehi, menandai peralihan dari masa prasejarah menuju masa sejarah. Hasil analisa tersebut membuat situs Batujaya sering dikaitkan dengan Kerajaan Tarumanegara yang merupakan kerajaan Hindu Waisnawa. Uniknya, temuan-temuan arkeologis di situs Batujaya menunjukkan bahwa candi-candi di Batujaya bukan merupakan candi Hindu, melainkan candi Buddha Mahayana. Hal ini membawa kesimpulan bahwa situs Batujaya bukanlah lokasi pusat kerajaan Tarumanegara.

Situs Batujaya mulai diketahui keberadaannya pada tahun 1984, ketika para peneliti dari tim survey arkeologi Universitas Indonesia akan meneliti Situs Cibuaya yang terletak tak jauh dari kawasan Batujaya. Menurut Pak Kaisin, penduduk Batujaya menyampaikan kepada para peneliti bahwa di Batujaya terdapat banyak temuan dalam bentuk batu bata. Para penduduk kemudian mengantarkan para peneliti untuk melihat “unur” (gundukan tanah) yang terdapat di kawasan persawahan. Setelah gundukan tersebut digali, ternyata di bawahnya terdapat struktur candi atau peninggalan purbakala lainnya. Sampai saat ini telah ditemukan 53 situs, yang terdiri dari 23 candi dan 30 unur yang belum digali. Dari 53 situs tersebut, baru 2 situs yang dipugar dan layak dikunjungi, yaitu Candi Jiwa (Candi Segaran 1) dan Candi Blandongan (Candi Segaran 5).

Candi pertama yang kami kunjungi adalah Candi Blandongan, yang letaknya paling jauh. Candi Blandongan mulai dipugar sejak tahun 2002. Nama Blandongan identik dengan pendopo, karena ketika masih berbentuk gundukan candi ini digunakan sebagai tempat beristirahat para gembala kambing. Kami sebenarnya tidak diijinkan mendekat ke bangunan candi, namun Pak Kaisin mengijinkan Pak Dwi untuk mendekat ke bangunan candi, sehingga dapat menjelaskan secara detail ornamen-ornamen pada bangunan candi.

Candi Blandongan
Pak Dwi memperlihatkan bahwa Candi Blandongan memiliki 4 pintu masuk di setiap penjuru. Pintu masuk utama diduga di sisi tenggara, yang ditandai bekas tiang untuk torana. Dari bentuknya, diduga bentuk asli Candi Blandongan adalah sebuah stupa, dengan adanya temuan bata berbentuk melengkung. Dijelaskan juga bahwa di bagian atas kaki candi terdapat sisa pagar langkan yang mengelilingi selasar, sehingga kemungkinan besar candi ini merupakan tempat ritual pradaksina. Pada selasar ini juga ditemukan jejak umpak, yang kemungkinan besar digunakan untuk tiang atap sepanjang selasar.

Dari Candi Blandongan, pak Dwi dan pak Kaisin membawa kami ke Candi Lempeng. Sejatinya situs ini tidak berbentuk bangunan candi, melainkan merupakan lempengan tutup dolmen atau peti mati kuno. Tutup dolmen ini semula dimiringkan untuk mengetahui apakah di bagian dalamnya terdapat inskripsi, namun tidak dikembalikan lagi ke posisi semula. Menurut pak Kaisin, lempeng batu tersebut sangat berat, bahkan 40 orang tidak kuat mengangkat lempeng batu tersebut, sehingga dibiarkan dalam kondisi miring. Di sekitar lokasi candi, terlihat beberapa unur. Menurut Pak Dwi, sebagian unur tersebut berisi struktur bangunan kuno yang sudah melalui tahap penelitian awal oleh para arkeolog, tinggal menunggu waktu untuk dapat digali dan diteliti lebih lanjut.

Candi Lempeng
Penjelajahan kami di situs Batujaya kami akhiri di Candi Jiwa. Candi yang dipugar sejak tahun 1990 ini mendapatkan namanya dari pengalaman penduduk. Menurut Pak Kaisin, daerah Batujaya sangat rawan banjir yang merupakan limpahan dari Ci Tarum yang hanya berjarak 1 km di sisi selatan dari Candi Jiwa. Jika terjadi banjir maka penduduk banyak mengungsi ke gundukan atau unur. Namun tiap kali para gembala kambing menempatkan kambingnya di gundukan yang berisi Candi Jiwa, maka kambing tersebut akan mati tanpa diketahui penyebabnya.

Candi Jiwa
Berbeda dengan Candi Blandongan yang memiliki tangga masuk di setiap penjuru, Candi Jiwa tidak memiliki tangga untuk naik ke bagian atas candi. Selain itu, selasar yang digunakan untuk pradaksina tidak terletak di atas kaki candi, melainkan dalam bentuk jalan setapak mengelilingi kaki candi. Di atas kaki candi, terlihat susunan batu bata bergelombang, seolah membentuk kelopak bunga teratai berukuran besar. Pak Dwi juga menjelaskan bahwa di Candi Jiwa banyak ditemukan tablet persembahan terakota yang berisi mantra (rapal doa) atau figure pantheon Buddha Mahayana, memperkuat dugaan para ahli bahwa bangunan Candi Jiwa diperuntukkan bagi penganut Buddha Mahayana.


Stupika yang Ditemukan di Candi Blandongan
Sebelum kembali ke Jakarta, kami menyempatkan untuk mengunjungi Museum Situs Cagar Budaya Batujaya. Bangunan yang digunakan untuk museum kecil ini awalnya adalah tempat penyelamatan hasil-hasil penelitian dan artefak hasil pemugaran, namun saat ini digunakan untuk memamerkan sebagian artefak hasil temuan, seperti stupika (stupa kecil) di candi Blandongan, tablet-tablet terakota, pecahan tembikar, dan kerangka manusia. Sebagian dari artefak yang ditemukan sudah dibawa untuk diteliti di Museum Nasional. Namun sebenarnya sebagian besar temuan disimpan di gudang yang terletak di dekat pintu masuk kawasan candi, menunggu untuk diteliti. Dengan masih banyak temuan yang harus diteliti, serta masih banyak unur yang harus digali, nampaknya masih banyak misteri Batujaya yang harus dipecahkan…

Monday, August 14, 2017

Museum Dirgantara Mandala, Rekam Jejak Kejayaan Indonesia di Udara

PESAWAT! Kata ini yang terlintas ketika mobil yang saya kendarai memasuki Kompleks TNI-AU Wonocatur menuju ke Museum Dirgantara Mandala. Museum Pusat TNI AU ini menyimpan berbagai benda-benda terkait sejarah TNI Angkatan Udara, dan koleksi favorit pengunjungnya adalah pesawat-pesawat yang pernah digunakan oleh TNI AU.

A4-Skyhawk di Halaman Museum
Memasuki halaman depan museum, saya disambut beberapa pesawat berukuran besar. Pesawat terbesar yang menarik perhatian saya adalah Tupolev Tu-16 buatan Rusia. Pada masanya, Tu-16 merupakan pesawat pembom strategis yang paling ditakuti, karena merupakan pesawat dengan teknologi paling canggih, serta memiliki kecepatan tinggi dan jarak jelajah yang jauh. Pesawat ini terlibat aktif dalam operasi Trikora dan Dwikora.

Tupolev Tu-16

Setelah membeli tiket masuk seharga Rp 3.000 dan ijin potret Rp 1.000, saya mulai melihat ke bagian dalam museum. Koleksi museum ini sebagian besar adalah koleksi sejarah TNI Angkatan Udara Koleksi-koleksi ini terdiri dari surat-surat penting, foto peristiwa, foto kegiatan operasi militer dan non militer TNI AU, pakaian seragam TNI AU, dan benda-benda memorabilia dari empat orang perintis TNI AU : Marsekal Muda Anumerta Iswahyudi, Marsekal Muda Anumerta Abdul Halim Perdanakusuma, Marsekal Muda Anumerta Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, dan Marsekal Muda Anumerta Agustinus Adisutjipto. Terdapat juga beberapa diorama yang menggambarkan berbagai peristiwa penting dalam sejarah TNI AU.

Para Perintis TNI AU
Di antara koleksi sejarah TNI AU, mata saya langsung melihat sebuah pesawat ringan yang terletak di dalam ruangan. Ternyata pesawat ini adalah replika pesawat ringan berawak tunggal WEL-I RI-X, pesawat buatan Wiweko Soepono yang merupakan pesawat pertama yang dibuat oleh bangsa Indonesia. Pesawat ini pertama kali diterbangkan pada tanggal 27 Oktober 1948 di pangkalan udara Maospati Madiun (sekarang pangkalan udara Iswahyudi). Pesawat ini merupakan replika, karena yang asli hancur ketika gerbong kereta api yang mengangkut pesawat ini terkena granat pemberontak PKI Madiun.

WEL-I RI-X Buatan Wiweko Soepono
Setelah puas melihat-lihat koleksi sejarah TNI AU, saya bergegas ke bagian hanggar, bagian favorit saya. Hanggar ini penuh sesak dengan koleksi pesawat yang berjumlah kurang lebih 46 buah. Walaupun koleksinya barangkali belum seperti museum-museum besar di mancanegara, namun koleksi pesawat di museum ini banyak bercerita kepada kita mengenai kiprah TNI AU dalam menjaga kedaulatan bangsa kita di udara. Beberapa pesawat yang wajib dilihat adalah Cureng, P-51 Mustang dan Mig-21. Pesawat Cureng adalah pesawat latih buatan Jepang produksi tahun 1933, yang menjadi pesawat pertama berbendera Indonesia yang diterbangkan di wilayah udara Indonesia pada tanggal 27 Oktober 1945 oleh Komodor Udara Agustinus Adisutjipto. Sedangkan pesawat P-51 Mustang buatan Amerika dan Mig-21 buatan Rusia merupakan pesawat tempur yang handal pada masanya, sehingga pada tahun 1950-1970-an kekuatan udara Indonesia termasuk salah satu yang disegani di dunia. Di salah satu sudut hanggar, terdapat studio foto yang menyediakan paket foto mengenakan seragam penerbang dengan latar belakang pesawat. Studio foto ini laris manis dikunjungi mereka yang ingin berfoto, terutama anak-anak

Salah satu koleksi pesawat yang patut dilihat adalah C-47 buatan Amerika, atau lebih dikenal sebagai DC-3 Dakota. Dalam sejarah dunia penerbangan, pesawat ini konon adalah pesawat paling sukses, karena merupakan pesawat yang aman, ekonomis, dan nyaman pada masanya. Sampai hari ini masih banyak DC-3 yang laik terbang dan digunakan untuk terjun payung atau joy flight. Salah satu DC-3 yang paling terkenal di Indonesia adalah RI-001 Seulawah, yang merupakan pesawat angkut pertama milik Republik Indonesia yang dibeli dari uang sumbangan rakyat Aceh. DC-3 yang dipasang di museum ini merupakan versi militer, dan karena pintu pesawat sengaja dibuka, saya bisa melihat interiornya, dan tentunya kondisinya jauh berbeda dengan pesawat komersil yang kita kenal sekarang.


DC-3 Dakota Versi Militer
Menjelang pintu keluar hanggar, di dekat pintu terdapat replika bagian ekor DC-3 Dakota VT-CLA, yaitu pesawat yang ditembak Belanda pada 29 Juli 1947 di dusun Ngoto, kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Peristiwa memilukan ini merupakan aksi balas dendam pengeboman di Semarang, Salatiga dan Ambarawa yang dilakukan para kadet AURI pada pagi harinya. Dalam peristiwa ini gugur beberapa tokoh perintis TNI Angkatan Udara, yaitu Agustinus Adisucipto, Abdulrahman Saleh, dan Adisumarmo Wirjokusumo.

Akhirnya saya tiba di ruangan terakhir. Sebelum mampir ke kios cenderamata, saya melihat beberapa miniatur pesawat, yang merupakan sumbangan dari penggemar miniatur pesawat. Setelah puas melihat miniatur pesawat dan cenderamata, saya bergegas keluar museum, karena masih banyak obyek wisata lain di Yogyakarta yang menunggu kehadiran saya.

(artikel pernah diposting di www.adirafacesofindonesia.com tanggal 19 November 2011)