Thursday, September 24, 2015

Piknik Itu Menyembuhkan

"Tampaknya dia kurang piknik". Kalimat ini sedang sering mencuat di berbagai media sosial, dan biasanya ditujukan bagi mereka yang sedang tegang, memiliki tingkat keseriusan sangat tinggi, atau mereka-mereka yang ngenes. Secara harfiah, "piknik" berarti wisata, liburan, dan refreshing. Jadi istilah "kurang piknik" secara harfiah berarti yang bersangkutan kurang melakukan aktivitas yang terkait dengan kesenangan. Dan sebagai penggila jalan-jalan, saya percaya "kurang piknik" memang membawa dampak kurang baik.

Kalau ditanya apakah piknik itu penting, saya akan menjawab "Ya" dengan tegas. Bagi saya, piknik bukan sekadar bersenang-senang. Piknik itu penting, karena merupakan salah satu cara saya menghilangkan kejenuhan dari rutinitas. Piknik itu penting, karena membuat saya melihat banyak hal di luar lingkungan sehari-hari tempat saya beraktivitas. Dan ternyata saya menemukan manfaat lain dari piknik: piknik itu menyembuhkan. Kok bisa?

Kisah ini berawal di bulan April 2014, ketika aktivitas saya di tempat kerja sangat padat, membuat saya kena serangan batuk nyaris tak berhenti selama berhari-hari. Besar kemungkinan saya kena batuk gara-gara kurang piknik. Di minggu kedua April, saya sudah punya rencana pergi ke Muntilan. Sempat terpikir oleh saya, lagi sakit batuk begini, apa saya masih bisa menikmati pikniknya? Tapi lagi-lagi, karena rutinitas kantor yang semakin meningkat, justru membuat saya membulatkan tekad untuk pergi ke Muntilan.

Bertepatan dengan akhir pekan liburan Paskah tahun 2014, saya, Anggi, dan Risky berangkat dari Yogya ke Muntilan, menuju Candi Borobudur. Candi Borobudur sendiri merupakan obyek wisata yang sangat mainstream, dan kami sudah beberapa kali mengunjungi candi tersebut. Yang kami tuju sebenarnya adalah Punthuk Setumbu, sebuah bukit di mana kita bisa melihat matahari terbit dari balik pasangan gunung Merapi-Merbabu, dan melihat siluet Candi Borobudur bagaikan melayang di lautan awan.

Inilah Pemandangan Yang Kami Kejar!
Setelah menginap semalam di Desa Wanurejo, Muntilan, baru keesokan paginya kami menuju ke Punthuk Setumbu. Kokok ayam bersahut-sahutan membangunkan kami tepat pukul 4 pagi, seolah mengingatkan kami untuk bangun dan bersiap-siap mengejar matahari terbit di Punthuk Setumbu. Pak Erwin, pemilik penginapan, sudah menunggu di beranda rumah dan mengingatkan agar kami berangkat sepagi mungkin, sebelum kehabisan tempat di atas bukit. Bersama tamu Pak Erwin lainnya yang berasal dari Taiwan, kami berangkat beriringan menggunakan 2 mobil. Di tengah kegelapan, melintasi jalan-jalan di perkampungan Desa Wanurejo, kami sangat tak sabar untuk menuju ke bukit yang tersohor ini.

Kami beruntung masih bisa mendapatkan tempat parkir di dekat pintu masuk. Setelah membeli tiket, saya, Anggi dan Risky mulai menapaki jalan setapak menuju puncak bukit. Tetesan embun pagi menjadikan jalan yang belum disemen itu menjadi agak becek, membuat perjalanan menjadi sedikit lebih berat. Mendekati bagian akhir, jalan mulai menanjak. Walaupun sudah dibantu undak-undakan tanah yang diperkuat bambu, rasanya kaki dan napas masih terasa berat untuk melangkah, sehingga saya harus beberapa kali berhenti untuk menarik napas dan mengumpulkan tenaga. Agak degdegan juga, takut akibat kedinginan atau terlalu capek, jangan-jangan sakit batuk saya menjadi makin parah.
Anggi, Risky, dan saya di Punthuk Setumbu
Setelah 20 menit berjalan, akhirnya kami tiba di puncak Punthuk Setumbu. Terlihat para fotografer, baik yang profesional maupun fotografer ponsel, sudah memenuhi puncak bukit. Beruntung kami masih kebagian spot di dekat pagar. Tanpa menunggu lebih lama, kami mencoba mencari di mana letak Candi Borobudur. Rupanya tak mudah menemukan siluet Candi Borobudur di tengah kegelapan. Bahkan setelah dibantu cahaya sang fajar, siluet candi tersebut masih belum bisa ditemukan. Baru setelah matahari mulai mengintip dari balik Gunung Merapi, siluet mahakarya dari wangsa Syailendra ini terlihat di sebelah kanan dari Gunung Merapi. Akhirnya, perjalanan mendaki bukit yang tampak melelahkan beberapa menit yang lalu terbayar lunas! Kami segera mengabadikan momen-momen menakjubkan ini, sebelum matahari bertambah tinggi dan kabut yang menyelimuti Borobudur menghilang ditelan cahaya.

Para Fotografer yang Mengabadikan Sunrise di Punthuk Setumbu

Lautan Awan dilihat dari Punthuk Setumbu
Cahaya matahari semakin terang ketika kami bergerak menelusuri jalan setapak, kembali ke arah parkir mobil. Masih terbayang-bayang di benak kami siluet Candi Borobudur yang seolah mengapung di atas awan. Apakah ini yang disebut dengan nirwana? Begitu saya masuk mobil dari Risky mengarahkan mobil kembali ke arah Pasar Borobudur, baru saya menyadari sesuatu: saya sama sekali tidak batuk selama perjalanan ke Punthuk Setumbu. Berarti batuk saya langsung sembuh begitu melihat pemandangan luar biasa ini!

Walaupun saya senang jalan-jalan ke luar domisili saya di Jakarta, saya berprinsip bahwa piknik tidak perlu jauh-jauh dan tidak perlu mahal. Terkadang saya juga memilih pergi ke obyek wisata yang dekat-dekat dengan Jakarta. Salah satunya adalah pergi liburan di Bogor. Masih banyak obyek menarik di Bogor yang belum saya kunjungi, terutama situs-situs sejarah di Bogor. Ada Museum PETA, ada Prasasti Batutulis, ada Makam Raden Saleh, dan masih ada situs-situs sejarah di Bogor yang menunggu untuk dikunjungi. Hmmm... sekarang saja saya sudah mulai membuka agenda, kapan ya saya bisa liburan di Bogor?

Postingan ini diikutkan pada “Lomba Blog Piknik itu Penting”.

No comments: