Saturday, November 28, 2015

Wayang Orang Sriwedari, Seni Pertunjukan Yang Bertahan Lebih Dari Satu Abad

Alunan suara pesinden diiringi gamelan yang dimainkan para pengrawit mengiringi langkah kami memasuki Gedung Wayang Orang Sriwedari pada pukul 20.15. Baru baris depan yang terisi penonton, dan kami menghitung baru sekitar 10-15 orang yang sudah menempati kursi-kursi penonton. Sambil sesekali menatap ke arah panggung yang masih tertutup dan berharap pertunjukan segera dimulai, saya, Murni, Rinta dan Arum masih sibuk membahas harga tiket masuk sebesar Rp 3.000,- per orang, nilai yang kalau di Jakarta bahkan belum cukup untuk membayar parkir selama 1 jam di pusat perbelanjaan terkemuka.

Semakin malam, makin banyak penonton yang hadir dan memenuhi kursi di baris depan. Barangkali ada 4-5 baris kursi yang terisi sekitar 50-60 orang penonton. Di luar dugaan kami, ternyata cukup banyak penonton yang berusia muda, bahkan beberapa di antara penonton datang bersama keluarga dan anak-anak, padahal saat itu bukan malam libur. Rasanya senang mengetahui masih ada yang berminat menyaksikan pertunjukan tradisional seperti wayang orang.

 Wayang orang, atau dalam bahasa Jawa disebut wayang wong, adalah pertunjukan wayang yang dimainkan menggunakan orang. Pertunjukan semacam teater tradisional ini mulai berkembang di lingkungan keraton sejak diciptakan oleh Mangkunegara I dari Solo pada tahun 1757. Pertunjukan ini tidak bertahan lama, dan kemudian lebih berkembang di Yogyakarta. Di bulan April 1868, sewaktu Mangkunegara IV mengadakan acara khitanan untuk putranya, didatangkan kelompok wayang orang dari Yogyakarta, dan sejak saat itu wayang orang kembali hidup di Solo. Mangkunegara IV dan Mangkunegara V kemudian menyempurnakan pertunjukan wayang orang, khususnya dalam hal pakaian dan perlengkapan. Kisah yang ditampilkan kebanyakan bersumber pada cerita wayang purwa, yang merupakan pengembangan kisah Ramayana dan Mahabharata.

Wayang orang semakin berkibar di Solo sejak pembangunan Taman Sriwedari pada tahun 1899 oleh Susuhunan Pakubuwana X dari Surakarta. Di masa itu wayang orang masih merupakan konsumsi eksklusif bagi lingkungan keraton. Wayang Orang Sriwedari sendiri merupakan kelompok budaya komersial pertama dalam pertunjukan wayang orang. Berdiri pada tahun 1911, Wayang Orang Sriwedari mengadakan pentas secara tetap di Taman Sriwedari, yang merupakan taman hiburan umum miliki Keraton Kasunanan Surakarta. Saat ini terdapat 33 Pegawai Negeri Sipil, 30 orang non-PNS (honorer), dan 5 orang pendukung yang menjadi pemain, pengrawit dan sinden yang mendukung pertunjukan Wayang Orang Sriwedari. Mereka melakukan pementasan setiap hari pada pukul 20.00-22.00, kecuali pada hari Minggu malam.

Prabu Siwandakala dan Putri Sriwitari
Kembali ke Gedung Wayang Orang Sriwedari, pada pukul 20.30 akhirnya lampu dimatikan dan layar bergambar gunungan dibuka, menandakan pertunjukan wayang orang dimulai. Adegan pertama diawali dengan munculnya tokoh Prabu Siwandakala dari kerajaan Medang Sawanda, tiga orang pria yang sepertinya merupakan senopati (panglima perang), serta para selir yang mengenakan kemben warna merah. Karena pada waktu masuk ke ruangan saya tidak sempat melihat judul cerita pada hari itu, serta tidak ada sinopsis yang dibagikan, saya menebak-nebak dengan mencoba mendengarkan dialog yang dibawakan. Walaupun dialog disampaikan menggunakan bahasa Jawa yang masih bisa saya mengerti, namun saya masih belum bisa menyimpulkan judul pertunjukan pada hari itu, kecuali bahwa lakon yang dimainkan hari ini bukan merupakan kisah utama dari Mahabharata, melainkan salah satu kembangannya.

Suasana pertunjukan mulai menjadi meriah ketika tokoh Putri Sriwitari, adik dari Prabu Siwandakala muncul ke panggung. Walaupun merupakan seorang satria wanita yang sakti, namun Putri Sriwitari memiliki karakter yang manja pada kakaknya. Kecerewetan yang ditampilkan dalam dialog yang “mrepet” (nyaris tak berujung) dengan nada tinggi ini membuat Rinta, yang sebenarnya tidak mengerti satu pun dialog yang diucapkan dalam bahasa Jawa, sangat terhibur melihat cara sang pemain menggambarkan karakter tokohnya. Tidak hanya terhibur dengan kelucuan yang terjadi di atas panggung, Rinta juga memperhatikan bahwa walaupun harga tiket masuk sangat murah bagi kami, pertunjukan ini digarap dengan sangat serius, mulai dari panggung dengan dekor yang ditata apik, kostum yang terlihat berkilau dan terawat, dandanan para pemain yang sangat serius sesuai dengan karakternya, dan bahkan akting para pemain pun terlihat sangat serius.

Prabu Siwandakala Menyerbu Kerajaan Mandura dan Dwarawati
Beralih ke adegan berikutnya, ketika Prabu Siwandakala mengirimkan ultimatum untuk menaklukan kerajaan Mandura di bawah pimpinan Prabu Baladewa, kerajaan Dwarawati di bawah pimpinan Prabu Kresna, dan kerajaan Amarta di bawah pimpinan Puntadewa dan Pandawa Lima. Mulailah terjadi perang kembang antara para patih kerajaan Medang Sewanda dan Setyaki, panglima dari kerajaan Dwarawati, yang dibawakan melalui tarian yang seru. Sayang sekali, Setyaki harus mengakui kesaktian Prabu Siwandakala, dan para senapati dari Mandura dan Dwarawati harus mundur dari medan peperangan.

Bagong, Petruk dan Gareng Dengan Banyolannya
Munculnya para punakawan (Bagong, Petruk, dan Gareng) memberikan penyegaran suasana bagi penonton untuk sejenak tertawa melihat banyolan-banyolan mereka. Punawakan ini merupakan tokoh khas wayang Indonesia, yang tidak dijumpai di kisah Mahabharata versi asli dari India. Bagi beberapa orang, para punawakan ini seolah “berfungsi” untuk menyeimbangkan pertunjukan agar tidak terlalu “berat”. Namun para punakawan ini sebenarnya mewakili rakyat atau orang kebanyakan yang bertugas mengasuh sekaligus menasehati para ksatria yang berbudi luhur, melakukan kritis sosial, sekaligus sebagai sumber kebenaran dan kebijakan, yang dibawakan melalui banyolan.

Setelah Bagong, Petruk dan Gareng selesai mengocok perut penonton dengan banyolan baris berbarisnya, adegan beralih ketika Sriwitari bertemu dengan Arjuna. Begitu pemeran Arjuna muncul, kami langsung berkomentar, “waaa... ganteng yaaa....”. Arjuna memang dikenal sebagai “lananging jagat”, yang berparas rupawan, berhati lembut, namun sekaligus seorang kesatria unggulan dan petarung tanpa tanding di medan laga. Karakter-karakter inilah yang membuat Arjuna dianggap sebagai perwujudan lelaki seutuhnya, sehingga dalam pertunjukan wayang orang, tokoh Arjuna sedapat mungkin ditampilkan oleh penari laki-laki yang berparas tampan dan memiliki aura lembut, serta ditampilkan dengan kostum yang lebih menyolok dibandingkan karakter lainnya.

Putri Sriwitari Tengah Merayu Arjuna
Namun di dalam kisah hari ini, Arjuna menolak cinta dari Sriwitari. Rayuan Sriwitari dan penolakan Arjuna digambarkan dalam dialog dan tarian yang kalem, jauh berbeda dengan adegan-adegan penolakan cinta yang biasa kita tonton dalam sinetron. Karena cintanya ditolak Arjuna, Sriwitari dengan kesaktiannya mengutuk Arjuna menjadi banteng. Setelah adegan Arjuna berubah menjadi banteng, Murni mencoba googling, dan barulah kami tahu bahwa judul lakon yang hari ini kami saksikan adalah “Arjuna Bantheng”.

Arjuna Dikutuk Menjadi Banteng
Setelah Arjuna dikutuk menjadi banteng, Prabu Siwandakala dan para senopatinya melanjutkan penyerbuan ke Kerajaan Amarta dan menyerang keluarga Pandawa. Tidak sanggup menghadapi kesaktian Prabu Siwandakala, keluarga Pandawa menyingkir dan meminta nasihat dari Kresna. Saat itu para punakawan membawa banteng jelmaan Arjuna kepada keluarga Pandawa. Di tengah kedukaan keluarga Pandawa karena mengetahui saudara mereka dikutuk menjadi banteng, Kresna menyatukan dirinya dengan banteng tersebut, untuk kemudian menghadapi Prabu Siwandakala.

Banteng Jelmaan Arjuna dan Kresna Menghadapi Prabu Siwandakala
Perang tanding antara Prabu Siwandakala dan Putri Sriwitari melawan Kresna dan Arjuna tidak terelakkan. Ketika banteng terkena senjata candrasa milik Prabu Siwandakala, banteng tersebut berubah wujud kembali menjadi Kresna dan Arjuna, yang kemudian melanjutkan perang tanding dengan Prabu Siwandakala dan Putri Sriwitari. Pertunjukan wayang hari itu diakhiri dengan kemenangan Kresna dan Arjuna. Setelah Kresna dan Arjuna memenangkan pertandingan, layar bergambar gunungan ditutup, para pengrawit dan pesinden meninggalkan tempatnya, dan penonton pun satu per satu beranjak meninggalkan kursinya meninggalkan Gedung Pertunjukan.

Kresna dan Arjuna

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Visit Jawa Tengah Periode 6.


Friday, October 9, 2015

Batik Pekalongan, Potensi Destinasi Wisata Minat Khusus Budaya


Salah satu jenis wisata minat khusus yang saat ini dikembangkan di Indonesia adalah wisata sejarah dan budaya, dengan mengunjungi tempat-tempat yang bukan merupakan tempat wisata umum, namun memiliki daya tarik yang unik yang membuat para peminat sejarah dan budaya untuk datang ke tempat tersebut. Di Jawa Tengah, salah satu tempat yang potensial untuk dijadikan destinasi wisata minat khusus budaya adalah Pekalongan yang merupakan salah satu sentra batik pesisir di pantai utara Jawa.

Industri batik di Pekalongan telah tumbuh sejak periode 1850-1860. Batik Pekalongan memiliki ciri khas tersendiri, yaitu menggunakan warna-warna cerah dengan pola khas yang merupakan perpaduan pengaruh budaya Jawa, Cina, Arab, dan Eropa. Jenis batik Pekalongan yang populer adalah batik buketan (motif bunga yang dipengaruhi gaya Eropa), batik encim (motif dipengaruh budaya Cina seperti burung hong dan naga) serta batik Djawa Hokokai (motif bunga sakura dan kupu-kupu yang diciptakan pada masa penjajahan Jepang).

Salah satu pengrajin batik encim khas Pekalongan adalah Rumah Batik Liem Ping Wie di Jl. Raya No. 192, Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan. Rumah batik ini dikelola oleh putri keenam Liem Ping Wie yang bernama Liem Poo Hien. Jika diperhatikan dengan seksama, batik encim produksi Rumah Batik Liem Ping Wie buatannya lebih halus jika dibandingkan dengan batik encim kebanyakan. Pengunjung Rumah Batik Liem Ping Wie bisa mengunjungi workshop yang terletak di belakang rumah untuk melihat proses pembuatan batik dengan teknik tulis dan cap. Mencanting dan mengoreksi hasil canting yang rusak dikerjakan oleh karyawan perempuan, sedangkan batik cap dikerjakan oleh karyawan laki-laki. Satu helai batik tulis produksi Rumah Batik Liem Ping Wie diproduksi selama 2 tahun, dengan harga mulai dari 2 juta hingga 15 juta, bergantung tingkat kehalusan motif dan kerumitan pembuatannya.

Pengrajin Batik Cap di Workshop Rumah Batik Lim Ping Wie
Jenis batik lain yang juga merupakan khas Pekalongan adalah batik Djawa Hokokai. Batik ini memiliki warna tegas dengan motif bunga sakura dan kupu-kupu yang dipengaruhi budaya Jepang. Ciri khas dari batik ini adalah motifnya yang dibuat “pagi-sore”, di mana dalam satu helai kain panjang memiliki 2 motif batik yang berbeda warna. Motif dengan warna terang digunakan untuk pagi hari, sedangkan motif dengan warna gelap digunakan untuk acara malam hari. Salah satu produsen batik Djawa Hokokai adalah Bapak Fatkhul Huda, yang memiliki workshop di Kecamatan Wiradesa.

Pengrajin Batik Tulis di Workshop Pak Fatkhul Huda
Selain jenis batik Pekalongan yang sudah dikenal masyarakat, terdapat jenis batik Pekalongan yang unik, yaitu batik Jlamprang. Batik ini merupakan kreasi batik yang diilhami motif kain Patola yang dibawa para pedagang dari Gujarat ke Jawa di abad ke-17, yang merupakan komoditi dagang yang digemari golongan masyarakat menengah ke atas. Ketika kain Patola mulai langka di pasaran, para pengusaha batik mencoba meniru motif kain Patola menggunakan proses membatik, yang kemudian disebut Batik Jlamprang. Saat ini hanya tinggal sedikit pengrajin batik Jlamprang di Pekalongan, salah satunya adalah Bapak Umar Qoyiim yang tinggal di daerah Krapyak, Kota Pekalongan.

Batik Jlamprang Kreasi Bapak Umar Qoyiim
Jika waktu kita terbatas untuk berkunjung ke pengrajin di pelosok Kabupaten Pekalongan, kita bisa berkunjung ke Kampung Wisata Batik Kauman dan Kampung Wisata Batik Pesindon yang terletak di Jl. Hayam Wuruk, Kawasan Kota Tua Pekalongan. Kedua kampung batik yang terletak berseberangan ini merupakan cikal bakal industri batik di Pekalongan. Tak hanya melihat-lihat batik, kita bisa cuci mata dengan menikmati arsitektur bangunan-bangunan kuno, serta hiasan motif batik yang dilukiskan di tembok-tembok bangunan.

Lukisan Batik di Lorong di Kampung Wisata Batik Pesindon
Jangan lupa untuk mengunjungi Museum Batik Pekalongan, yang beralamat di Jl. Jetayu No. 1, Kota Pekalongan. Museum yang menempati bangunan bergaya art deco peninggalan masa kolonial Belanda ini memiliki koleksi yang terkait dengan batik, seperti peralatan membuat batik, koleksi batik pesisir dari berbagai daerah, koleksi batik Vorstendlanden (batik pedalaman) dari keraton Yogyakarta dan Surakarta, serta aneka koleksi batik Nusantara dari berbagai daerah di Indonesia. Jumlah koleksi batik museum ini mencapai lebih dari 1000 buah, dan karena keterbatasan tempat harus dipamerkan secara bergiliran. Pengunjung museum juga dapat mengetahui lebih jauh mengenai batik dengan mengunjungi perpustakaan, atau belajar membatik dengan canting tulis atau canting cap di workshop yang terletak di belakang museum.

Pengunjung Museum Belajar Menggunakan Canting

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Visit Jawa Tengah Periode 5.



Thursday, September 24, 2015

Piknik Itu Menyembuhkan

"Tampaknya dia kurang piknik". Kalimat ini sedang sering mencuat di berbagai media sosial, dan biasanya ditujukan bagi mereka yang sedang tegang, memiliki tingkat keseriusan sangat tinggi, atau mereka-mereka yang ngenes. Secara harfiah, "piknik" berarti wisata, liburan, dan refreshing. Jadi istilah "kurang piknik" secara harfiah berarti yang bersangkutan kurang melakukan aktivitas yang terkait dengan kesenangan. Dan sebagai penggila jalan-jalan, saya percaya "kurang piknik" memang membawa dampak kurang baik.

Kalau ditanya apakah piknik itu penting, saya akan menjawab "Ya" dengan tegas. Bagi saya, piknik bukan sekadar bersenang-senang. Piknik itu penting, karena merupakan salah satu cara saya menghilangkan kejenuhan dari rutinitas. Piknik itu penting, karena membuat saya melihat banyak hal di luar lingkungan sehari-hari tempat saya beraktivitas. Dan ternyata saya menemukan manfaat lain dari piknik: piknik itu menyembuhkan. Kok bisa?

Kisah ini berawal di bulan April 2014, ketika aktivitas saya di tempat kerja sangat padat, membuat saya kena serangan batuk nyaris tak berhenti selama berhari-hari. Besar kemungkinan saya kena batuk gara-gara kurang piknik. Di minggu kedua April, saya sudah punya rencana pergi ke Muntilan. Sempat terpikir oleh saya, lagi sakit batuk begini, apa saya masih bisa menikmati pikniknya? Tapi lagi-lagi, karena rutinitas kantor yang semakin meningkat, justru membuat saya membulatkan tekad untuk pergi ke Muntilan.

Bertepatan dengan akhir pekan liburan Paskah tahun 2014, saya, Anggi, dan Risky berangkat dari Yogya ke Muntilan, menuju Candi Borobudur. Candi Borobudur sendiri merupakan obyek wisata yang sangat mainstream, dan kami sudah beberapa kali mengunjungi candi tersebut. Yang kami tuju sebenarnya adalah Punthuk Setumbu, sebuah bukit di mana kita bisa melihat matahari terbit dari balik pasangan gunung Merapi-Merbabu, dan melihat siluet Candi Borobudur bagaikan melayang di lautan awan.

Inilah Pemandangan Yang Kami Kejar!
Setelah menginap semalam di Desa Wanurejo, Muntilan, baru keesokan paginya kami menuju ke Punthuk Setumbu. Kokok ayam bersahut-sahutan membangunkan kami tepat pukul 4 pagi, seolah mengingatkan kami untuk bangun dan bersiap-siap mengejar matahari terbit di Punthuk Setumbu. Pak Erwin, pemilik penginapan, sudah menunggu di beranda rumah dan mengingatkan agar kami berangkat sepagi mungkin, sebelum kehabisan tempat di atas bukit. Bersama tamu Pak Erwin lainnya yang berasal dari Taiwan, kami berangkat beriringan menggunakan 2 mobil. Di tengah kegelapan, melintasi jalan-jalan di perkampungan Desa Wanurejo, kami sangat tak sabar untuk menuju ke bukit yang tersohor ini.

Kami beruntung masih bisa mendapatkan tempat parkir di dekat pintu masuk. Setelah membeli tiket, saya, Anggi dan Risky mulai menapaki jalan setapak menuju puncak bukit. Tetesan embun pagi menjadikan jalan yang belum disemen itu menjadi agak becek, membuat perjalanan menjadi sedikit lebih berat. Mendekati bagian akhir, jalan mulai menanjak. Walaupun sudah dibantu undak-undakan tanah yang diperkuat bambu, rasanya kaki dan napas masih terasa berat untuk melangkah, sehingga saya harus beberapa kali berhenti untuk menarik napas dan mengumpulkan tenaga. Agak degdegan juga, takut akibat kedinginan atau terlalu capek, jangan-jangan sakit batuk saya menjadi makin parah.
Anggi, Risky, dan saya di Punthuk Setumbu
Setelah 20 menit berjalan, akhirnya kami tiba di puncak Punthuk Setumbu. Terlihat para fotografer, baik yang profesional maupun fotografer ponsel, sudah memenuhi puncak bukit. Beruntung kami masih kebagian spot di dekat pagar. Tanpa menunggu lebih lama, kami mencoba mencari di mana letak Candi Borobudur. Rupanya tak mudah menemukan siluet Candi Borobudur di tengah kegelapan. Bahkan setelah dibantu cahaya sang fajar, siluet candi tersebut masih belum bisa ditemukan. Baru setelah matahari mulai mengintip dari balik Gunung Merapi, siluet mahakarya dari wangsa Syailendra ini terlihat di sebelah kanan dari Gunung Merapi. Akhirnya, perjalanan mendaki bukit yang tampak melelahkan beberapa menit yang lalu terbayar lunas! Kami segera mengabadikan momen-momen menakjubkan ini, sebelum matahari bertambah tinggi dan kabut yang menyelimuti Borobudur menghilang ditelan cahaya.

Para Fotografer yang Mengabadikan Sunrise di Punthuk Setumbu

Lautan Awan dilihat dari Punthuk Setumbu
Cahaya matahari semakin terang ketika kami bergerak menelusuri jalan setapak, kembali ke arah parkir mobil. Masih terbayang-bayang di benak kami siluet Candi Borobudur yang seolah mengapung di atas awan. Apakah ini yang disebut dengan nirwana? Begitu saya masuk mobil dari Risky mengarahkan mobil kembali ke arah Pasar Borobudur, baru saya menyadari sesuatu: saya sama sekali tidak batuk selama perjalanan ke Punthuk Setumbu. Berarti batuk saya langsung sembuh begitu melihat pemandangan luar biasa ini!

Walaupun saya senang jalan-jalan ke luar domisili saya di Jakarta, saya berprinsip bahwa piknik tidak perlu jauh-jauh dan tidak perlu mahal. Terkadang saya juga memilih pergi ke obyek wisata yang dekat-dekat dengan Jakarta. Salah satunya adalah pergi liburan di Bogor. Masih banyak obyek menarik di Bogor yang belum saya kunjungi, terutama situs-situs sejarah di Bogor. Ada Museum PETA, ada Prasasti Batutulis, ada Makam Raden Saleh, dan masih ada situs-situs sejarah di Bogor yang menunggu untuk dikunjungi. Hmmm... sekarang saja saya sudah mulai membuka agenda, kapan ya saya bisa liburan di Bogor?

Postingan ini diikutkan pada “Lomba Blog Piknik itu Penting”.

Saturday, July 4, 2015

10 Destinasi Wisata Sejarah dan Budaya Favorit di Jawa Tengah

Anda pecinta wisata sejarah dan budaya? Jawa Tengah adalah tempat yang tepat dijadikan sebagai destinasi wisata sejarah dan budaya. Jawa Tengah merupakan tempat asal muasal manusia Jawa. Jawa Tengah juga merupakan pusat peradaban sejak masa silam yang menjadi pusat perkembangan budaya manusia. Inilah mengapa di Jawa Tengah Anda bisa menemukan berbagai ragam destinasi wisata sejarah dan budaya yang menarik. Banyak peristiwa bersejarah yang terjadi di Jawa Tengah, sehingga begitu banyak peninggalan sejarah yang kemudian dijadikan destinasi wisata. Demikian juga dengan budaya, begitu banyak kekayaan budaya di Jawa Tengah yang dijadikan destinasi wisata, baik budaya khas Jawa Tengah, maupun budaya-budaya lokal yang telah menyerap berbagai pengaruh dari luar.

Apa saja destinasi wisata sejarah dan budaya favorit Jawa Tengah? Inilah 10 destinasi wisata sejarah dan budaya favorit Jawa Tengah versi saya!

 1. CANDI BOROBUDUR
Tak ada yang memungkiri Borobudur adalah destinasi wisata budaya paling top di Jawa Tengah. Candi Buddha terbesar di dunia ini terletak di Muntilan, Magelang. Didirikan pada abad ke 8-9 Masehi oleh Dinasti Syailendra dari kerajaan Mataram Kuno, saat ini Candi Borobudur sudah diakui UNESCO sebagai salah satu Situs Warisan Dunia.


Keunikan dari Candi Borobudur adalah bangunannya dibuat menutupi sebuah bukit alam. Candi ini juga dilengkapi dengan deretan relief yang jika dijajarkan, panjangnya mencapai 3000 meter. Relief-relief ini terdiri dari kisah Sang Budha, berbagai ajaran sang Budha dari India, serta gambaran kehidupan masyarakat Jawa pada masa itu. Relief yang ada di candi Borobudur diakui sebagai relief yang paling elegan dan anggun di antara karya seni berlanggam Buddha lainnya.

Saat ini Candi Borobudur masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan. Setiap tahunnya umat Buddha dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Candi Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Lengkapi kunjungan ke Candi Borobudur dengan mengunjungi Candi Mendut dan Candi Pawon, yang merupakan bagian dari prosesi para biksu dalam memperingati Hari Raya Waisak. Tak lupa singgah juga di Vihara Mendut untuk melihat rupang Sleeping Buddha di halaman depan vihara.

 2. LAWANG SEWU 
Bangunan antik yang terletak di depan Tugu Muda, Kota Semarang ini memiliki begitu banyak pintu, sehingga diberi nama “Lawang Sewu”. Sejarah bangunan ini terkait erat dengan sejarah kereta api di Indonesia. Bangunan ini dibuat pada tahun 1904, dan pada awalnya digunakan sebagai kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij, perusahaan kereta api yang menjadi cikal bakal perusahaan kereta api di Indonesia.


Dengan bentuknya yang unik, Lawang Sewu sering digunakan sebagai tempat pameran atau dijadikan lokasi syuting film. Banyak spot-spot foto yang menarik di tempat ini, salah satunya adalah jendela di antara tangga yang dihiasi kaca patri warna warni. Namun tempat yang paling membuat penasaran adalah ruang bawah tanah yang dibangun pada tahun 1916. Awalnya ruang bawah tanah ini digunakan sebagai penampung air, khususnya karena Kota Semarang rawan banjir. Namun saat Lawang Sewu diambil alih oleh Jepang di tahun 1942, ruangan ini digunakan sebagai penjara dan tempat penyiksaan. Oleh karena lokasinya yang wingit, banyak yang melakukan “Uji Nyali” di tempat ini.

 3. LITTLE NEDERLAND 
Jalan-jalan ke Semarang, jangan lewatkan untuk melihat Kawasan Kota Tua Semarang, atau dikenal sebagai Little Nederland. Di kawasan seluas 30 hektar yang terletak di Kelurahan Bandarharjo, Semarang Utara ini terdapat bangunan-bangunan antik yang mendapat pengaruh gaya bangunan Eropa. Karena dikelilingi jalan satu arah, untuk bisa menikmati keindahan bangunan di kawasan ini sebaiknya kita masuk melalui Jl. Merak, kemudian lanjut ke Jl.Cendrawasih, dan berbelok kanan ke Jl. Dr. Suprapto.

Di antara bangunan-bangunan antik yang terdapat di Little Nederland, terdapat beberapa bangunan yang cukup menonjol dan menarik untuk dieksplorasi lebih lanjut. Di antaranya adalah Marabunta Gedung Multiguna, replika dari gedung pertunjukan Komedi Stadschouwburg. Gedung yang dicirikan dengan patung semut raksasa di atas atapnya ini terkenal karena pernah menjadi tempat pementasan Mata Hari, seorang penari eksotis berkebangsaan Belanda yang menjadi mata-mata Jerman pada Perang Dunia I.


Ikon Kawasan Kota Tua Semarang adalah Gereja Blenduk. Bangunan dengan nama resmi GPIB Immanuel ini memiliki ciri khas atap berbentuk kubah, yang dalam bahasa Jawa disebut “blenduk”. Dari bangunan-bangunan di Kawasan Kota Tua, Gereja Blenduk merupakan bangunan yang paling terawat. Di dalam bangunan gereja, kita bisa melihat orgel antik yang diletakkan di atas balkon. Sayang orgel ini sudah tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

 4. SAM POO KONG 
Semarang dikenal sebagai kota 1001 klenteng, karena kota ini memiliki kutur budaya etnis Tionghoa yang begitu kuat. Di antara klenteng-klenteng yang tersebar di seluruh Kota Semarang, terdapat sebuah klenteng yang unik dan menjadi ikon Kota Semarang, yaitu Klenteng Sam Poo Kong yang terletak di Jl. Simongan, Bongsari.

Klenteng Sam Poo Kong merupakan petilasan Laksamana Cheng Ho, seorang laksamana muslim kepercayaan Kaisar Tiongkok, yang memimpin ekspedisi kekaisaran Tiongkok ke Nusantara di awal abad ke-15. Klenteng ini didirikan oleh anak buang Cheng Ho di Semarang sebagai penghormatan kepada Cheng Ho yang dianggap telah berjasa dalam memimpin anak buahnya selama melakukan ekspedisi. Klenteng ini dikenal sebagai Gedung Batu, karena bangunan utamanya berbentuk gua batu besar yang diyakini merupakan tempat pendaratan ekspedisi Cheng Ho di Jawa. Di dalam gua ini terdapat patung Sam Poo Tay Djien, yang dianggap sebagai perwujudan Laksamana Cheng Ho.


Selain Gedung Batu, Klenteng Sam Poo Kong dilengkapi dengan berbagai bangunan yang menjadi tempat ibadah. Berbeda dengan klenteng pada umumnya, bangunan-bangunan di kompleks Klenteng Sam Poo Kong dibuat dengan arsitektur perpaduan antara gaya arsitektur Tiongkok dan Jawa. Uniknya, bangunan terbesar di kompleks klenteng ini dibangun dengan menghadap ke arah kiblat. Di tempat ini juga terdapat Anjungan Kyai Djangkar, di mana terdapat sebuah jangkar yang dipercaya merupakan jangkar dari kapal yang digunakan Laksamana Cheng Ho untuk melakukan ekspedisi ke Nusantara.

5. CANDI GEDONG SONGO
Kompleks Candi Gedong Songo terletak di Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Nama “Gedong Songo” menunjukkan bahwa kompleks candi ini terdiri dari 9 bangunan yang tersebar di lereng Gunung Ungaran, di antara hutan pinus dan perkebunan sayur milik masyarakat, memberikan panorama yang unik sekaligus indah yang jarang ditemukan di tempat lain.


Tidak ada catatan atau prasasti yang menunjukkan secara pasti kapan Kompleks Candi Gedong Songo dibangun. Namun berdasarkan hasil penelitian para ahli, kompleks percandian ini dibangun pada masa yang sama dengan candi-candi di Dataran Tinggi Dieng, dari masa Dinasti Sanjaya di Mataram Kuno. Diperkirakan Candi Gedong Songo merupakan bangunan agama Hindu tertua di Jawa, lebih tua dibandingkan Candi Borobudur dan Prambanan.

Untuk melihat seluruh bangunan candi yang tersebar, terdapat jalan setapak sepanjang 4 kilometer yang mengelilingi kompleks percandian. Jalan setapak ini melewati daerah perbukitan dengan kontur naik turun, dan sepanjang jalan kita bisa menikmati panorama Gunung Ungaran yang asri. Jika Anda merasa tidak kuat atau memiliki waktu yang terbatas, manfaatkan jasa transportasi kuda untuk berkeliling kompleks bangunan candi.

6. KAMPUNG BATIK LAWEYAN 
Mengunjungi Solo, jangan lupa mampir ke Kampung Batik Laweyan. Kawasan sentra batik ini sudah ada sejak jaman Kerajaan Pajang di tahun 1546 Masehi. Kampung batik ini juga merupakan salah satu saksi bisu gerakan perjuangan bangsa Indonesia, ketika organisasi Sarekat Dagang Islam (cikal bakal organisasi Sarekat Islam) didirikan oleh Haji Samanhudi di Solo pada tahun 1905.


Kampung Batik Laweyan menempati wilayah seluas 24 hektar yang menampung ratusan pengrajin batik. Batik yang dijual di tempat ini umumnya batik dengan motif khas Solo, seperti Tirto Tejo dan Truntum. Selain menjual kain, toko-toko di kawasan ini juga menjual pakaian jadi dalam berbagai model dan kualitas. Beberapa toko memiliki workshop, di mana Anda bisa melihat proses pembuatan batik tulis dan batik cap oleh para pengrajin batik. Tak hanya melihat batik, Anda juga bisa melakukan “blusukan” untuk melihat rumah-rumah khas Jawa tempo doeloe.

7. CANDI CETHO 
Candi Cetho terletak di Dusun Ceto, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, di ketinggian 1400 meter dpl. Nama “Cetho”dalam bahasa Jawa berarti “jelas”, dan nama ini diberikan karena dari tempat ini dapat terlihat pemandangan ke berbagai arah dengan jelas. Dari hasil penelitian para ahli, diketahui Candi Cetho merupakan candi bercorak Hindu, dan berasal dari masa akhir kerajaan Majapahit di abad ke-15. Sampai saat ini candi ini masih digunakan untuk beribadah oleh penduduk setempat yang memeluk agama Hindu.


Saat penggalian, diketahui kompleks Candi Cetho berbentuk seperti punden berundak yang terdiri dari 14 teras bertingkat. Dari 14 tingkat tersebut, hanya 9 teras yang dipugar, seperti yang terlihat saat ini. Keunikan dari Candi Cetho terletak di teras ketiga, di mana terdapat tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan simbol phallus, simbol surya Majapahit, dan kura-kura raksasa. Simbol-simbol ini diduga merupakan simbol penciptaan alam semesta dan penciptaan manusia. Sedangkan di teras keempat terdapat jajaran batu yang memuat relief kisah Sudhamala, yang mendasari upacara ruwatan di masyarakat Jawa.

8. MUSEUM PURBAKALA SANGIRAN 
Tahukah Anda bahwa Jawa Tengah merupakan salah satu tempat munculnya peradaban manusia purba awal? Di Museum Purbakala Sangiran kita akan mendapatkan informasi lengkap mengenai hal ini. Museum ini menyimpan berbagai peninggalan arkeologis dan paleontologis yang ditemukan di Situs Kepurbakalaan Sangiran yang terletak di lembah Bengawan Solo. Tak hanya penting bagi Indonesia, UNESCO sudah mengakui bahwa kawasan Sangiran merupakan tempat penelitian kehidupan prasejarah terpenting di dunia, dan di tahun 1996 menetapkan Sangiran sebagai Situs Warisan Dunia. Tidak kurang dari 13.809 fosil ditemukan di tempat ini, sejak penelitian Koeningswald yang dimulai pada tahun 1936.


Pendirian Museum Sangiran berawal dari adanya kebutuhan wisatawan yang ingin melihat fosil-fosil yang ditemukan di Sangiran, yang saat itu disimpan di kediaman Bapak Toto Sumarsono. Setelah Sangiran ditetapkan sebagai Cagar Budaya pada tahun 1977, di tahun 1980 mulai dibangun sebuah museum yang representatif. Adapun Museum Purbakala Sangiran yang berdiri sekarang adalah bangunan baru yang diresmikan pada tahun 2011. Museum ini sudah ditata secara modern, di mana kisah sejarah manusia purba dipaparkan secara runut dan sistematis. Di dalam museum ini dipamerkan berbagai fosil manusia purba, hewan bertulang belakang, binatang air, tumbuhan laut, serta berbagai artefak peralatan dari batu.

9. MUSEUM KERETA API AMBARAWA 
Naik kereta api, tut tut tut, siapa hendak turut! Kereta api saat ini kembali menjadi salah satu moda transportasi favorit untuk bepergian antar kota. Sejarah perkeretaapian Indonesia dimulai di Semarang, dengan berdirinya Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij yang berkantor di Lawang Sewu. Tapi mengapa Museum Kereta Api-nya terletak di Ambarawa ya?


Rupanya hal ini tidak lepas dari keunikan Stasiun Ambarawa. Stasiun Ambarawa merupakan stasiun transit antara jalur kereta Semarang-Ambarawa yang menggunakan lebar rel 1435 mm, dengan jalur Ambarawa-Magelang-Yogyakarta yang menggunakan lebar rel 1067 mm. Keberadaan stasiun ini tidak lepas dari fungsi Ambarawa sebagai kota militer, di mana kereta api digunakan untuk mengangkut tentara dari Ambarawa ke Semarang. Untuk itu Raja Willem I memerintahkan membangun stasiun kereta api, yang kita kenal sebagai Stasiun Ambarawa.

Museum Kereta Api Ambarawa yang beralamat resmi di Jl. Stasiun Ambarawa No. 1, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang merupakan museum terbuka dengan koleksi utama berupa lokomotif dan perlengkapan dunia perkeretaapian. Museum ini diresmikan pada tahun 1978, dan memamerkan koleksi utama berupa 22 lokomotif uap. Di antara lokomotif yang disimpan di museum ini, 2 di antaranya merupakan lokomotif bergigi yang masih bisa berfungsi menarik gerbong wisata di jalur menanjak antara stasiun Jambu dan Bedono. Selain lokomotif, Museum Kereta Api Ambarawa juga memiliki koleksi alat-alat dari dunia kereta api, termasuk mesin pencetak tiket, alat pengatur sinyal, peluit, dan seragam petugas kereta api.

10. MUSEUM BATIK PEKALONGAN 
Pekalongan merupakan sentra batik pesisir di utara Jawa, sehingga sudah sepantasnya kota ini memiliki museum batik. Museum Batik Pekalongan terletak di Jl. Jetayu No. 1, Pekalongan, di dekat Alun-Alun yang menjadi jantung Kota Pekalongan. Menempati sebuah gedung tua peninggalan kolonial Belanda bergaya art deco, museum ini merupakan tempat kita belajar batik sekaligus belajar membatik.


Koleksi batik di Museum Batik Pekalongan dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu koleksi batik pesisir, koleksi batik Nusantara, dan koleksi batik pedalaman dari Yogyakarta dan Surakarta. Di museum juga terdapat peragaan bahan-bahan pembuat batik. Sedangkan di bagian belakang museum terdapat workshop, di mana terdapat peragaan pembuatan batik. Pengunjung dapat mencoba mencanting malam ke atas kain mori, untuk merasakan sendiri bagaimana salah satu bagian dari proses membuat batik.


Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Utama Blog Visit Jawa Tengah 2015

Saturday, June 6, 2015

Selat Solo, Cita Rasa Kuliner Blasteran Jawa-Eropa

Di Solo ada selat? Ya, memang ada, tapi jangan bayangkan selatnya adalah laut antara dua pulau. Selat Solo adalah makanan khas Solo yang dipengaruhi gaya kuliner Eropa. Sekilas, hidangan ini seperti gabungan antara steak daging, salad sayuran, dan sup. Walaupun dipengaruhi kuliner Eropa, Selat Solo sudah menjadi salah satu trademark Kota Solo, dan dapat ditemui mulai dari warung lesehan hingga restoran papan atas.

Salah satu tempat yang happening banget untuk makan Selat Solo adalah Warung Mbak Lies di Serengan. Warung yang satu ini lokasinya ada di dalam gang, tepatnya Serengan Gg II No. 42. Tapi untuk menemukan tempatnya tidak sulit. Dari perempatan Serengan pergi ke arah Selatan hingga bertemu Gang II yang terletak di sisi kiri jalan. Akan terlihat papan petunjuk “Warung Selat Mbak Lies”. Jika membawa mobil, mobil bisa diparkir di lahan-lahan parkir yang tersedia di dalam gang, atau diparkir di tepi jalan besar. Perlu dicatat, walau sudah buka sejak tahun 1987, Mbak Lies tidak membuka cabang, jadi kalau mau makan Selat Solo Mbak Lies, ya harus datang ke Serengan.

Papan Petunjuk ke Warung Selat Mbak Lies
Setelah sampai di TKP, jangan bingung karena Warung Selat Mbak Lies terdiri dari beberapa tempat. Ya, Mbak Lies menggunakan beberapa rumah sebagai tempat makan, karena peminat Selat Solo buatannya terus bertambah, dan kadang-kadang datang secara berombongan. Namun setiap tempat punya ciri khas yang serupa, yaitu banyaknya pernak pernik dari keramik. Pernak-pernik berukuran kecil diletakkan sebagai hiasan dinding dan meja, sedangkan beberapa guci berukuran besar diletakkan di sudut-sudut ruangan sebagai pemanis ruangan. Ruangan yang nyaman ini juga dilengkapi ilustrasi musik campur sari khas Jawa Tengah. Di dinding terpasang foto para selebriti yang pernah makan di Warung Selat Mbak Lies, mulai dari para artis, pejabat, hingga mantan pejabat.

Suasana di Warung Selat Mbak Lies
Menu Selat yang dijual Mbak Lies ada 2 macam varian, yaitu Selat Bestik dan Selat Galantine. Perbedaannya adalah kalau Selat Bestik menggunakan potongan daging, kalau Selat Galantine menggunakan galantine atau rolade daging. Untuk varian Selat Galantine, kita bisa minta kuah segar seperti Selat Bestik, atau kuah saos yang berwarna merah. Favorit saya adalah Selat Bestik, yang terdiri dari potongan daging dilengkapi dengan buncis, wortel, kentang, telur, kacang polong, irisan bawang mentah, dan sedikit saus mustard, disiram kuah bening yang segar. Semua bahan-bahan ini memberikan paduan rasa yang unik antara manis, asam, gurih, dan segar. Untuk menikmati Selat Segar Mbak Lies, datanglah sebelum jam 5 sore, karena setelah jam 5 sore biasanya selatnya sudah habis.

Selat Bestik
Bagi yang sudah sering mencoba selat segar dan ingin mencoba makanan lain, Mbak Lies juga menyediakan menu-menu lain, seperti sup matahari (sejenis selat dengan telur yang dibentuk seperti bunga), timlo, sup galantin, sup manten, gado-gado, tahu acar, dan setup macaroni. Sebagai pelengkap khususnya saat cuaca Solo sedang panas, Anda bisa memesan es beras kencur atau es tape ijo. Anda juga bisa memesan es degan (kelapa muda) yang ditambah sirup, gula pasir, atau gula jawa.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Visit Jawa Tengah Periode 3.
 Lomba Blog Wisata Jateng 3


Thursday, June 4, 2015

Bersama Penyu di Pulau Serangan

"Sendiri aja, Mbak?" Ini pertanyaan klasik yang sering dilontarkan orang-orang ketika melihat saya solo traveling. Tapi bagi saya, solo traveling berarti kita bisa memilih pergi ke tempat yang benar-benar kita inginkan, tanpa "membebani" teman perjalanan kita. Solo traveling juga memungkinkan kita memakaimalkan interaksi dengan lingkungan yang kita sambangi. Akan lebih baik lagi jika interaksi kita dapat memberikan manfaat baik bagi kita maupun lingkungan yang kita kunjungi. Seperti yang saya lakukan hari ini di Bali.

Di solo traveling kali ini saya memilih untuk datang ke Turtle Conservation and Education Center di Pulau Serangan. Karena tidak ada kendaraan umum yang lewat di depan tempat tersebut, saya menyewa mobil untuk mencapai tempat ini. Eh, tunggu dulu, ke Pulau Serangan naik mobil? Ya, Pulau Serangan semula terpisah dari Pulau Bali, dan hanya bisa dicapai dengan perahu dari Tanjung Benoa. Pada dekade 1990-an, pulau ini direklamasi oleh sekelompok investor dengan tujuan untuk dijadikan resort, sehingga pulau ini kemudian “menyatu” dengan Bali. Akibat pergantian rezim di tahun 1998, berakhir pula proses pembangunan resort, membuat pulau ini sempat terbengkalai. Saat ini Pulau Serangan kembali dikembangkan untuk olahraga air, seperti kayak, main perahu, atau paralayang.

Selamat Datang di Pusat Konservasi Penyu
Penangkaran Penyu di Pulau Serangan telah didirikan sejak tahun 2004. Semula tempat ini didanai oleh WWF, namun karena dinilai sudah bisa mandiri, maka pengelolaan tempat ini diserahkan pada Desa Pakraman Serangan. Pertama kali saya dibawa oleh Made Ki, salah satu petugas di kawasan konservasi, untuk melihat kandang tetas telur penyu. Menurut Made Ki, telur penyu yang ditetaskan di tempat ini berasal dari beberapa tempat, di antaranya Pulau Serangan, Pantai Jumpai (Klungkung), Pantai Intercon (Jimbaran), Pantai Saba (Gianyar), dan Padang Bai (Karangasem). Telur-telur ini dibawa oleh para nelayan yang telah mendapat pengarahan agar menyelamatkan telur penyu dari sarang untuk dibawa ke pusat konservasi.

Kandang Tetas
Para petugas konservasi, termasuk Made Ki, umumnya dapat membedakan telur penyu berdasarkan bentuknya. Jika bentuknya kecil seperti bola pingpong adalah telur penyu lekang, sedangkan jika bentuknya agak besar adalah telur penyu hijau. Saya beruntung bisa melihat salah satu telur yang baru saja menetas. Biasanya tukik (bayi penyu) yang baru lahir kemudian diletakkan di atas tumpukan pasir selama 1 hari, menunggu ari-ari mereka kering. Setelah ari-ari mereka kering, tukik baru dilepas di kolam penangkaran dan diberi makan sisa tulang ikan dan rumput laut. Saat tukik berusia 1 bulan, mereka akan dilepas kembali ke laut.

Para Tukik Yang Ditangkarkan
Di deretan kolam penangkaran, Made Ki menunjukkan beberapa kolam yang diisolasi. Di dalam kolam ini terlihat beberapa penyu yang bagian tempurung belakangnya tidak sempurna. Menurut Made Ki, penyu-penyu ini tidak cacat dari lahir. Bagiam tempurungnya tidak sempurna akibat perebutan makanan dengan teman-temannya, sehingga beberapa ekor penyu yang lebih kuat akan mengkanibal temannya sendiri. Duh, saya seperti disadarkan, walaupun kita berupaya untuk menjaga kelestarian penyu-penyu ini, namun sampai kapan pun manusia tidak akan bisa menghentikan hukum alam…

Pusat Konservasi Penyu juga memiliki beberapa ekor penyu dewasa, yang sengaja mereka pelihara untuk menunjukkan bentuk penyu ketika dewasa kepada pengunjung. Di dalam kolam yang dibentuk seperti penyu, Made Ki menunjukkan terdapat 3 spesies penyu yang ditangkarkan di konservasi ini, yaitu penyu hijau, penyu sisik, dan penyu lekang. Orang awam seperti saya agak sulit membedakan setiap spesies penyu, apalagi mereka memiliki ukuran dan penampilan yang serupa satu sama lain, ditambah mereka terus menerus bergerak di dalam kolam. Penyu-penyu ini berusia rata-rata 10 tahun, dan akan dilepas ke alam saat mereka mencapai usia reproduksi. Menurut Made Ki, proses reproduksi penyu memakan waktu berhari-hari, dan kondisi ini tidak bisa direkayasa di tempat penangkaran.

Dua Ekor Penyu Dewasa
Made Ki menawarkan kepada saya barangkali saya mau berpartisipasi dalam program adopsi tukik. Berbeda dengan adopsi anjing atau kucing di mana kita bisa membawa mereka pulang ke rumah, program adopsi tukik tidak demikian. Dengan membayar Rp 50.000, kita "mengganti" biaya perawatan, kemudian membawa tukik tersebut ke Pantai Penyu untuk dilepas ke lautan. Karena tidak tega kalau hanya melepas satu tukik ke pantai untuk dilepas, saya tetap memberikan donasi, namun saya tidak bermaksud melepas tukik tersebut ke pantai. Bagi saya, sekecil apa pun donasi yang saya berikan, mudah-mudahan dapat berarti bagi kelestarian para penyu.

Selain Pusat Konservasi Penyu, Bali juga memiliki banyak tempat-tempat menarik lainnya yang bisa dikunjungi dan dinikmati dengan solo traveling. Ada pantai-pantai cantik yang masing-masing memiliki keunikan, mulai dari Pantai Sanur dengan panorama sunrisenya sampai Pantai Kuta dengan segala hingar bingarnya menjelang sunset. Ada museum-museum dan bangunan-bangunan unik yang menanti untuk dikunjungi dan dieksplorasi, mulai dari Museum Subak, Museum Antonio Blanco, Bale Gili Kerthagosa, Tirta Gangga, dan Taman Ujung Sukasada. Masih belum puas solo travelingnya? Kunjungi juga berbagai desa wisata di Bali, seperti Desa Tenganan, Desa Belimbing, dan desa-desa wisata lainnya.


Tulisan ini diikutkan dalam lomba “Travelio #YourTripYourPrice Solo Traveling Blog Competition” yang di-host oleh wiranurmansyah.com dan disponsori oleh Travelio.com. Tulisan sudah diedit kembali sebagai referensi materi training Travel Writing online.

Thursday, May 28, 2015

Kabupaten Sleman, Rumahnya Candi-Candi Cantik

Mendengar kata candi di Kabupaten Sleman, yang terbayang barangkali adalah Kompleks Candi Prambanan dan Situs Keraton Ratu Boko yang sudah tersohor. Tapi sebenarnya di Kabupaten Sleman banyak bertebaran candi-candi cantik lainnya dari masa kerajaan Mataram Kuno, baik yang bergaya Hindu maupun Buddha. Sebagian candi itu sudah dipugar dan dibuka untuk wisata umum, sedangkan sebagian lainnya masih dalam proses penggalian atau pemugaran. Ada candi apa saja ya di Sleman?

Candi Sambisari
Saat berkendara dari arah kota Yogya menuju Klaten, candi pertama yang bisa dikunjungi adalah Candi Sambisari yang terletak di sisi kiri jalan, kurang lebih 10 km dari pusat kota Yogyakarta. Namun jangan heran saat pertama kali hadir kita tidak bisa menemukan candinya, karena Candi Sambisari seperti terletak di bawah permukaan tanah. Saat ditemukan pada tahun 1966, posisi Candi Sambisari memang terpendam sedalam 6,5 meter di bawah permukaan tanah. Besar kemungkinan hal ini terjadi akibat timbunan lahar Gunung Merapi. Pemugaran Candi Sambisari membutuhkan waktu 21 tahun, dan pada tahun 1987 candi ini dibuka untuk umum.



Dari sebuah prasasti berbentuk lempengan emas yang ditemukan di dekat candi, para ahli memperkirakan Candi Sambisari dibangun antara tahun 812-838 M. Candi Sambisari terdiri dari sebuah candi induk dengan 3 candi perwara, yang dikelilingi tembok berukuran 50 meter x 48 meter. Jika melihat bentuk bangunan candi serta arca yang terletak di tubuh candi, Candi Sambisari merupakan candi Hindu.Di dalam bangunan utama juga terdapat sepasang lingga-yoni berdiameter 1,5 meter, yang digunakan untuk membuat air suci.

Candi Kalasan
Candi Kalasan terletak kurang lebih 7 km di sisi barat Candi Prambanan. Tidak sulit untuk menemukan candi ini, karena lokasi candi terlihat dari jalan raya Yogyakarta-Klaten. Apabila kita berkendara dari arah Yogya menuju Klaten, Candi Kalasan terletak di sisi kanan jalan.
Candi Kalasan merupakan Candi Buddha tertua di sekitar Yogyakarta. yang dibangun sekitar akhir abad ke-8 Masehi oleh Rakai Panangkaran dari Wangsa Syailendra. Diduga candi ini dibangun sebagai penghormatan pada Tarabhawana, salah satu bodhisattwa wanita menurut mitologi agama Budha, sehingga dikenal sebagai Candi Tara. Konon Atisha Dipankara, seorang pendeta Budha asal Bengali, India, pernah mengunjungi Candi Kalasan dan candi ini menjadi salah satu sumber inspirasinya dalam menyebarkan agama Budha.



Bangunan candi setinggi 24 meter dengan panjang sisi 16,5 meter ini berbentuk tambun, sesuai dengan ciri khas candi-candi Budha. Candi Kalasan pernah mengalami pemugaran hingga empat kali, dan pemugaran terakhir dilakukan pada tahun 1939-1940. Candi ini memiliki pintu masuk di sisi timur, namun saat ini candi tidak dapat dimasuki karena tangga ke arah bagian dalam candi hanya berupa tumpukan batu. Permukaan tubuh candi penuh dengan relief cantik, di antaranya relief pohon dewata dan awan beserta penghuni kahyangan yang tengah bermain musik. Puncak candi diduga berbentuk stupa besar, namun belum berhasil direkonstruksi karena banyak batuan asli yang tidak ditemukan. Dari batuan yang ditemukan, diperkirakan Candi Kalasan dikelilingi oleh kurang lebih 52 stupa, dengan tinggi kurang lebih 4,6 meter. Stupa-stupa ini sebagian besar banyak yang tidak dapat dibangun lagi karena batunya banyak yang hilang.

Candi Sari
Candi Sari terletak 500 meter di sisi timur laut dari Candi Kalasan, dengan lokasi candi kurang lebih berseberangan dengan Candi Kalasan. Jika Anda berkendara dari kota Yogyakarta ke arah Solo, jalan masuk menuju Candi Sari terletak di sisi kiri.



Candi Sari ditemukan pada tahun 1840, dan pertama kali dipugar pada tahun 1929-1930. Dari berbagai ciri arsitektur dan ornamen bangunan, diketahui bahwa bangunan ini merupakan bangunan agama Buddha, serta dibangun pada masa yang sama dengan Candi Kalasan. Sekilas, bangunan Candi Sari berbentuk seperti asrama, sehingga para ahli menduga bangunan ini merupakan vihara atau tempat tinggal para pendeta. Sangat mungkin bangunan ini adalah vihara yang dimaksud dalam prasasti Kalasan.
Candi ini berukuran penampang alas 17,3 meter x  10 meter. Bagian tubuh candi terdiri dari 3 ruangan yang masing-masing dihubungkan dengan pintu. Di dalam masing-masing ruangan terdapat relung, yang diduga semula merupakan tempat arca Budha yang diapit Bodhisatwa. Jika cukup teliti, Anda bisa melihat lubang-lubang di tembok bagian dalam candi. Diperkirakan lubang ini merupakan tempat dudukan kayu untuk menyangga lantai di bagian atas. Bagian atas candi terdapat 9 stupa yang tersusun dalam 3 deretan sejajar.

Candi Banyu Nibo
Di Desa Cepit, tak jauh dari pintu masuk Kompleks Keraton Ratu Boko, terdapat Candi Banyu Nibo. "Banyu Nibo" dalam bahasa Jawa berarti air menetes, nama ini diberikan karena penduduk setempat melihat bentuk candi ini dari jauh seperti tetesan air yang jatuh ke tanah. Candi Banyu Nibo didirikan pada sekitar abad 9 Masehi. Saat ditemukan pada tahun 1940, Candi Banyunibo berada dalam keadaan runtuh. Pemugaran candi dilakukan secara bertahap hingga selesai dibangun kembali pada tahun 1978. Saat ini candi ini terlihat masih utuh dan kokoh dengan berbagai relief yang masih nampak jelas.



Kompleks candi ini terdiri dari satu candi induk yang menghadap ke barat dan enam candi perwara yang berderet di sisi selatan dan timur. Bangunan utama candi berukuran 15,3 meter x 14,25 meter dengan tinggi 14,25 meter. Di bagian dalam bangunan candi utama,  di sisi selatan terdapat relief wanita yang dikelilingi anak-anak yang merupakan perwujudan Dewi Hariti (dewi kesuburan atau dewi kekayaan dalam agama Budha), sedangkan di sisi utara terdapat relief pria yang sedang duduk yang ditafsirkan merupakan perwujudan Vaisarawana. Bagian puncak candi berbentuk stupa, yang merupakan ciri arsitektur bagunan suci umat Budha. Pada masing-masing sudut kaki candi dan di bagian tengah masing-masing sisi kaki candi terdapat hiasan berupa "Jaladwara" berbentuk Makara yang berfungsi sebagai saluran air hujan. Di sekeliling candi terdapat selasar yang berfungsi sebagai lorong untuk mengelilingi candi.

Candi Ijo
Candi Ijo merupakan candi yang terletak paling tinggi di Kabupaten Sleman, bahkan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi ini berada di Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, di atas bukit Gumuk Ijo pada ketinggian 410 meter di atas permukaan laut. Untuk mencapai candi ini, ikuti jalan ke arah Candi Ratu Boko, kemudian di persimpangan menuju Ratu Boko-Banyunibo-Candi Ijo berbelok ke kanan ke arah Candi Ijo. Sepanjang perjalanan terlihat pemandangan hutan jati dan perbukitan kapur.



Candi Ijo merupakan kompleks candi Hindu yang (seharusnya) terdiri dari 17 bangunan yang terbagi dalam 11 teras berundak. Susunan seperti ini berbeda dengan susunan candi yang ditemukan di sekitar Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang pada umumnya memusat ke tengah. Keunikan lainnya, pondasi candi di kompleks Candi Ijo tidak terbuat dari batu andesit, melainkan dipahat langsung dari batuan bukit kapur. Saat ini bagian yang sudah dipugar dan dapat dilihat oleh umum adalah pada teras paling atas atau teras kesebelas. Di teras ini terdapat tiga bangunan candi utama atau bagian yang paling suci yang menunjukkan penghormatan kepada Trimurti atau tiga dewa utama dalam mitologi Hindu : Brahma, Wisnu dan Syiwa, serta tiga candi perwara di depannya. Candi-candi utama ini dipugar antara tahun 2000-2003.

Penasaran dengan candi-candi cantik yang baru saja saya ceritakan? Atau ingin tahu candi-candi cantik lainnya di Kabupaten Sleman? Mari melakukan perjalanan Wisata ke Sleman, dijamin banyak pengalaman menarik dan seru yang bisa kita alami!

Banner Lomba


Tuesday, March 24, 2015

Wisata Cagar Budaya Jateng: Ketika Matahari Bersinar Terang di Candi Gedongsongo

“Naik kuda, Mbak?”
 Teguran salah satu pengasuh kuda di Candi Gedongsongo mengalihkan perhatian saya dari bangunan candi yang terlihat di depan mata. Bangunan candi yang ada di depan saya adalah Candi Gedong I, seperti yang tertera pada papan di dekat candi tersebut, dan tidak terlihat bangunan candi lainnya. Setelah melihat keterangan di papan mengenai Kompleks Candi Gedong Songo, ternyata untuk mengelilingi seluruh kompleks, saya harus menempuh jalan setapak dengan kontur yang naik turun sejauh 4 kilometer. Karena waktu terbatas dan untuk menghemat tenaga, akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan jasa transportasi kuda. Pengelola Kompleks Candi Gedong Songo sudah menetapkan standar tarif wisata berkuda, sehingga saya tak perlu repot tawar menawar dengan para pengasuh kuda. Akhirnya saya menyambut tawaran Mas Apip, pengasuh kuda yang menegur saya, untuk menggunakan jasa kudanya yang bernama Riska berkeliling seluruh kompleks candi.

Saya dan Riska di Depan Candi Gedong IV
Kompleks Candi Gedong Songo terletak di Dusun Darum, Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Kompleks percandian ini pertama kali ditemukan pada tahun 1740 oleh Loten. Nama Gedong Songo berasal dari bahasa Jawa “Gedong” yang berarti bangunan, serta “Songo” yang berarti sembilan, karena di kawasan candi ini terdapat sembilan kelompok bangunan yang dibagi dalam 5 kelompok besar. Bangunan-bangunan tersebut tersebar di lereng Gunung Ungaran, di antara hutan pinus dan perkebunan sayur masyarakat, memberikan paduan panorama indah dan unik yang sulit ditemukan di tempat lain. Tidak diketahui secara pasti kapan kompleks percandian ini dibangun, namun diperkirakan candi ini dibangun oleh Dinasti Sanjaya dari Kerajaan Mataram Kuno pada abad VII Masehi, dan merupakan bangunan agama Hindu tertua di Jawa, lebih tua daripada Candi Borobudur dan Candi Prambanan.

Mas Apip mengarahkan Riska untuk membawa saya menuju ke Candi Gedong V terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan menuju Candi Gedong V, terlihat hamparan pepohonan dan perkebunan sayur milik warga, dinaungi langit yang terang benderang. Di kompleks candi yang berada di ketinggian 1200 meter ini, hawanya biasanya cukup dingin, dan sering kali kabut tipis turun. Namun hari ini matahari sedang “berbaik hati”, cuaca yang terang benderang membuat saya bisa melihat keindahan panorama alam ini, termasuk melihat dengan jelas candi-candi yang terdapat di kompleks percandian ini dari kejauhan. Karena tak terbiasa naik kuda, awalnya saya sempat tegang, terutama saat melewati jalan yang terjal sekaligus berkelok. Mas Apip berulang kali mengingatkan agar badan saya lentur mengikuti gerakan kudanya.

Setelah mendaki selama 20 menit dan menembus deretan pepohonan pinus, tanpa terasa kami tiba di lapangan terdekat dengan Candi Gedong V. Saya turun dari punggung Riska, kemudian melangkahkan kaki ke arah Candi Gedong V. Inilah candi dengan tempat tertinggi di kompleks pecandian Gedong Songo, di ketinggian 1308 meter dari permukaan laut. Di tempat ini, hanya tersisa sebuah candi yang relatif utuh, sedangkan sisanya berupa reruntuhan batu yang sulit untuk disusun ulang. Dari tempat ini terlihat pemandangan gugusan pegunungan Sindoro, Sumbing, Merbabu, dan Telomoyo yang mengelilingi kawasan candi Gedong Songo. Saat melihat ke arah bawah, terlihat candi-candi lain seperti bangunan kecil yang menyembul di antara hamparan hijau tumbuh-tumbuhan.


Candi Gedong V Dengan Latar Belakang Pegunungan Telomoyo
Dari Candi Gedong V, saya kembali ke lapangan. Di sisi seberang lapangan, terlihat Candi Gedong IV. Setelah melepas dahaga dengan minuman yang saya beli dari penjaja minuman di dekat Candi Gedong V, saya menyeberangi lapangan untuk melihat Candi Gedong IV dari dekat. Di Candi Gedong IV terlihat satu candi yang masih utuh, sisanya adalah reruntuhan candi yang tinggal puing-puing. Kurang lebih 50 meter dari Candi Gedong IV, terlihat satu buah candi perwara yang baru selesai direnovasi pada tahun 2010. Dari sisa bangunan yang ada, Candi Gedong IV diperkirakan semula memiliki 12 bangunan. Dari Candi Gedong IV, saya naik ke punggung Riska, dan Mas Apip membawa kami melewati jalan setapak melewati sumber air panas untuk menuju Candi Gedong III. Mendekati lokasi sumber air panas, mulai terlihat kepulan uap air dan tercium bau belerang. Batu-batuan yang berada di sekitar kawah terlihat kekuningan, menandakan kandungan belerang yang cukup tinggi. Air panas yang mengandung belerang ini dialirkan ke kolam khusus untuk digunakan berendam, dan konon berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit, khususnya penyakit kulit.

Candi Gedong IV

Salah Satu Kawah Belerang di Dekat Sumber Air Panas
Sambil melanjutkan perjalanan menuju Candi Gedong III, saya mencoba membayangkan posisi bangunan candi yang ada di Gedong Songo, seolah candi-candi tersebut dibuat mengitari sumber air panas. Banyak penafsiran para ahli terhadap lokasi bangunan candi yang terpencar-pencar. Satu pendapat mengatakan bahwa candi-candi ini dibuat untuk melindungi sumber air panas yang dianggap suci. Pendapat lain adalah candi-candi ini menggambarkan petunjuk rangkaian prosesi keagamaan yang dilakukan dari candi terbawah hingga teratas. Dugaan lain, posisi candi yang berderet dari bawah hingga ke atas merupakan gambaran hirarki kesucian, di mana candi yang di atas posisinya lebih suci dibandingkan candi di bawahnya. Mana pendapat yang paling tepat, tentunya perlu penelitian lebih lanjut. Tiba di Candi Gedong III, saya turun dari punggung Riska untuk melihat ke Candi Gedong III. Di antara kompleks candi yang ada di Gedong Songo, Candi Gedong III merupakan yang paling lengkap. Candi ini dibatasi dengan beranda dan terdiri dari 3 buah bangunan. Masih terlihat beberapa arca di relung luar candi induk, yaitu arca Durga dan Ganesha, serta arca pengawal dewa Syiwa Nandiswara dan Mahakala yang berada di samping kanan kiri pintu candi.

Candi Gedong III
Puas memotret di Candi Gedong III, saya kembali naik ke punggung Riska dan melanjutkan perjalanan ke Candi II. Di Candi Gedong II yang berada di ketinggian 1274 meter, terdapat dua bangunan candi induk yang menghadap ke barat, dengan reruntuhan candi perwara yang berhadapan dengan candi induk. Candi induk di kompleks ini merupakan candi yang paling besar yang terdapat di Gedong Songo. Karena bentuknya yang relatif utuh, candi ini menjadi favorit wisatawan untuk berfoto ria.

Candi Gedong II Dilihat Dari Atas
Setelah selesai melihat-lihat di Candi Gedong II, saya kembali naik ke punggung Riska, dan Mas Apip membawa kami menelusuri jalan setapak kembali ke titik awal pemberangkatan kami di dekat Candi Gedong I. Setelah turun dari punggung Riska dan membayar tarif wisata kuda ke Mas Apip sebesar Rp 70.000,-, saya melihat jam tangan, rupanya saya sudah berkeliling Kompleks Candi Gedongsongo selama 1 jam 15 menit. Saya kemudian mendekati bangunan Candi Gedong I yang hanya terdiri dari 1 bangunan. Saat melongok ke dalam ruangan candi, ternyata Candi Gedong I adalah satu-satunya candi yang masih memiliki yoni tanpa lingga, sedangkan candi lainnya kosong. Di dalam ruangan candi Gedong I terlihat tebaran bunga sesaji, menunjukkan bahwa tempat ini masih digunakan untuk pemujaan.

Candi Gedong I
Sebelum keluar dari Kompleks Candi Gedong Songo, sekali lagi saya memandang ke arah perbukitan. Masih melekat kuat dalam benak perjalanan yang baru saja saya lakukan bersama Riska dan Mas Apip. Tanpa Riska dan Mas Apip, rasanya tak mungkin saya bisa menjangkau seluruh candi di kompleks ini dalam waktu singkat. Sebuah pengalaman yang akan terus saya kenang, berkeliling candi-candi cantik di perbukitan dengan naik kuda.


Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Visit Jawa Tengah Periode 2.