Saturday, August 31, 2013

Menjelajah Pulau-Pulau Granit di Belitong

Hari itu akhir pekan pertama di bulan Oktober tahun 2011, dan langit yang terang benderang tanpa angin seolah mengiringi kami berenam dalam perjalanan menjelajahi pulau-pulau kecil di perairan pantai utara Pulau Belitung. Belitung, atau oleh masyarakat asli pulau ini disebut sebagai Belitong, adalah pulau kecil di sisi timur Pulau Sumatra, dan merupakan bagian dari Provinsi Bangka Belitung. Pulau penghasil lada dan timah ini menjadi populer sebagai destinasi wisata alam, seiring dengan ketenaran film Laskar Pelangi yang menampilkan keindahan pantai pasir putih dan batu-batu granit yang menyembul di permukaan air.
Di Pantai Tanjung Kelayang

Perjalanan kami mengarungi perairan di sisi utara Belitung sangat menyenangkan, karena arus perairan yang tenang nyaris tanpa alunan ombak. Warna langit yang cerah terpantul pada permukaan air, sehingga tampak biru berkilau. Cerahnya langit membuat kami dapat melihat batas antara laut dangkal dan laut yang lebih dalam dengan jelas. Pemandangan ini diperkaya dengan garis pantai berpasir putih yang menghiasi hampir setiap pulau yang ada di perairan ini, dihiasi formasi batu granit khas pantai-pantai di Belitung. Warna laut yang biru berkilau berpadu dengan batu granit yang besar-besar memberikan pemandangan yang menakjubkan, yang jarang ditemui di tempat lain.
Kami memulai perjalanan dari Pantai Tanjung Kelayang. Setelah kapal nelayan menyalakan mesin dan mengangkat sauh untuk menuju ke gugusan pulau-pulau kecil tersebut, kami pun mulai menikmati pemandangan formasi batu-batu unik khas pantai Belitung. Formasi pertama yang kami temui adalah Pulau Batu Kelayang yang terletak di seberang Pantai Tanjung Kelayang. Bentuk formasi batu ini sangat unik, karena menyerupai bentuk burung kelayang atau burung garuda, sehingga formasi ini sering disebut sebagai Batu Garuda.
Batu Garuda di Pantai Tanjung Kelayang
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah lokasi Pulau Pasir, yang berupa hamparan pasir putih yang halus dan hanya terlihat ketika air sedang surut. Sayang sekali, ketika kami lewat laut sedang pasang, sehingga kami tak bisa melihatnya dan hanya bisa membayangkan pulau berpasir yang halus dengan bintang-bintang laut bertaburan di atasnya. Namun nelayan yang membawa kami sengaja membawa kapalnya memutari lokasi pulau ini, agar kami bisa mengintip keindahan Pulau Pasir dari balik permukaan air.

Kapal kemudian mengarah ke Pulau Babi Kecil, yang terletak di sisi selatan Pulau Babi, pulau terbesar di gugusan pulau pantai utara Belitung. Keistimewaan pulau ini adalah adanya batu granit terbesar yang bisa ditemui di gugusan pulau-pulau pantai utara Belitung. Ketika kami mencoba mendaki batu yang paling besar untuk berfoto di atasnya, kami sempat mengalami kesulitan. Namun setelah kami berhasil mencapai bagian atas batu dan melihat pemandangan dari sana, rasanya luar biasa…
Panorama dari Pulau Babi Kecil
 Puas berfoto-foto di Pulau Babi Kecil, kami pun berpindah ke Pulau Lengkuas. Pulau ini merupakan pulau terluar di gugusan pulau pantai utara Belitung, sekaligus pulau yang paling terkenal karena keberadaan mercusuar di sana. Dalam perjalanan menuju Pulau Lengkuas, kami mulai merasakan perahu yang terayun-ayun. Rupanya karena letak pulau ini berbatasan dengan laut lepas, pertemuan antara arus laut antar pulau dan laut lepas mengakibatkan arus laut yang berada di perairan ini lebih kuat dibandingkan yang kami rasakan sebelumnya.

Mendarat di Pulau Lengkuas, rupanya banyak wisatawan lain yang juga berkunjung di sana. Tanpa membuang waktu, kami bergegas menuju mercusuar. Mercusuar setinggi 60 meter buatan tahun 1882 ini masih berfungsi dengan baik untuk menuntun lalu lintas kapal keluar masuk pulau Belitung. Semula kami ingin menaiki mercusuar untuk melihat pulau-pulau lain di sekitar Pulau Lengkuas, namun ternyata pintu mercusuar tertutup dan kami tak bisa masuk. Walaupun agak kecewa, kami mengerti karena mercusuar ini masih berfungsi sebagai penuntun kapal, sehingga jika didatangi terlalu banyak wisatawan dikhawatirkan akan mengganggu para petugasnya.

Saat itu sudah tengah hari, sehingga kami menggelar tikar dan membuka perbekalan yang kami bawa. Di pulau ini tidak ada penjual makanan, sehingga semua wisatawan yang datang ke tempat ini memang harus membawa sendiri perbekalannya dari Belitung. Sambil menikmati makan siang, kami mulai mengamati aktivitas para wisatawan di pulau ini. Pada umumnya mereka datang ke pulau ini untuk duduk-duduk menikmati pemandangan. Sekelompok pecinta fotografi tampak sedang berburu foto. Sedangkan di salah satu formasi batu granit yang terletak di pantai, terdapat sekelompok orang yang sedang belajar snorkeling.
Mercusuar Pulau Lengkuas
 Pulau Lengkuas memiliki formasi batu-batu besar yang terletak di pantai yang sangat menawan untuk dijadikan lokasi berfoto. Tanpa membuang waktu, setelah makan siang kami pun mulai menjelajahi batu-batu besar tersebut. Untuk mencapainya, kami harus melewati genangan air laut setinggi lutut. Basah sedikit tak mengapa, asal mendapatkan pemandangan Pulau Lengkuas yang unik dan menakjubkan!

Setelah puas menjelajah Pulau Lengkuas, kami kembali ke perahu dan nelayan mengarahkan perahu menuju Pulau Burung. Nama pulau ini berasal dari formasi batu berbentuk paruh burung yang terletak di perairan pulau ini. Pulau ini terasa lebih sejuk dibandingkan pulau-pulau yang kami kunjungi sebelumnya, karena banyaknya pepohonan. Setelah berfoto-foto dan bermain pasir, kami beristirahat dan minum kelapa muda segar dari warung yang ada di pulau ini.
Landmark Pulau Burung
Melihat langit mulai berawan gelap, kami memutuskan untuk segera naik ke perahu dan kembali ke Tanjung Kelayang. Perjalanan kembali ke Pantai Tanjung Kelayang terasa lebih mendebarkan daripada sebelumnya, karena perahu berayun-ayun terkena arus laut yang lebih kencang. Ketika kami melihat sekeliling, suasana terlihat sangat dramatis, di mana warna langit yang gelap terpancar pada warna lautan. Nelayan yang membawa kami sempat menunjukkan Batu Berlayar, formasi batu granit yang menjulang tinggi seperti layar perahu. Jika laut sedang surut, kapal bisa merapat dan batu ini bisa didekati. Namun karena saat itu laut sedang pasang, dan cuaca buruk, kami hanya mengambil foto batu tersebut dari atas perahu. Untungnya ketika kami merapat di Pantai Tanjung Kelayang, cuaca sudah cukup terang.

Sore itu kami diberkahi cuaca yang cerah, sehingga semula kami berniat melihat matahari terbenam dari Tanjung Binga, sesuai rekomendasi nelayan yang mengantar kami keliling pulau. Namun karena saat itu sudah terlalu sore, maka kami mencoba menikmati panorama matahari terbenam dari pantai di depan Hotel Lor In tempat kami menginap. Pada akhirnya, kami mendapatkan matahari yang tampak malu-malu terbenam di sela-sela langit yang berawan. Paduan panorama matahari terbenam dengan pantai berpasir putih yang lengang dan air laut yang jernih membuat hati kami bergidik, betapa indahnya panorama Pulau Belitung.
Sunset di Pulau Belitung


Keterangan : Artikel asli dimuat di Kompasiana.

Wisata Sorong, Pintu Gerbang Terdepan Provinsi Papua Barat

Kota Sorong bukan ibukota Provinsi Papua Barat, namun merupakan gerbang terdepan Provinsi Papua Barat, karena hampir semua pesawat yang memiliki tujuan ke Papua Barat mendarat di Sorong. Kota Sorong mungkin lebih dikenal sebagai pintu masuk menuju gugusan Kepulauan Raja Ampat, namun sebenarnya Sorong juga memiliki berbagai potensi wisata yang menarik. Sungguh menarik dapat mengabadikan berbagai keindahan obyek wisata Kota Sorong dan sekitarnya dengan kamera, seperti yang pernah saya lakukan pada penghujung bulan Maret tahun 2012.

Obyek wisata Sorong yang kami kunjungi pertama kali adalah Taman Wisata Alam (TWA) Sorong. TWA Sorong terletak di Km 14 jalan raya antara Sorong-Distrik Aimas, dan saya menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit dari Pusat Kota Sorong. Kawasan konservasi seluas 945,9 hektar ini dibentuk berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI Nomor 188/Kpts-II/1986 tanggal 7 Juni 1986, serta biasanya dimanfaatkan untuk penelitian tanaman dan pengamatan burung.
Pintu Gerbang TWA Sorong

Memasuki kawasan TWA Sorong, kami disambut pepohonan tinggi yang mewakili ekosistem hutan dataran rendah iklim tropis basah. Berbeda dengan taman hutan raya yang pernah kami kunjungi sebelumnya, walaupun saat kami berkunjung merupakan akhir pekan, namun kami tak melihat ada pengunjung lain yang masuk ke kawasan ini. Seandainya kami punya waktu lebih lama, kami sebenarnya bisa melakukan trekking ke air terjun, namun karena kami masih punya agenda ke tempat-tempat wisata lainnya, kami hanya berfoto-foto sejenak, kemudian meninggalkan kawasan ini menuju obyek wisata berikutnya.
Suasana di TWA Sorong

Tujuan kami berikutnya adalah Bendungan Klasmesen, yang terletak di Kelurahan Klamalu, Distrik Aimas, Kabupaten Sorong. Karena ukurannya yang tidak terlalu besar (kurang lebih hanya 125 hektar), seringkali bendungan ini lebih tepat disebut sebagai waduk mikro atau embung, dan dikenal sebagai Embung Klamalu. Waduk ini dibangun untuk irigasi di wilayah Kelurahan Klamalu, serta dimanfaatkan sebagai obyek wisata bagi warga Kota Sorong dan Kabupaten Sorong. Dari pusat Distrik Aimas, diperlukan waktu kurang lebih 30 menit untuk menuju ke bendungan ini.
Bendungan Klasmesen
 Kami tiba di Embung Klamalu tepat tengah hari, dan saat itu cuaca sangat cerah. Cuaca cerah ini membuat kami bisa menikmati pemandangan di sekitar waduk yang masih sangat alami, dengan warna-warni pepohonan yang mengelilingi waduk terpantul dengan jelas di permukaan air. Di atas danau terlihat juga perahu kayu dan perahu bebek yang bisa digunakan untuk mengelilingi danau. Kami pun sempat melihat pintu air yang digunakan untuk mengatur debit alir ke sawah-sawah di sekitar Kelurahan Klamalu. Di sekitar danau, terdapat beberapa rumah makan lesehan yang dilengkapi dengan kolam pemancingan dan fasilitas bermain anak-anak. Saat kami berkunjung, kami melihat beberapa wisatawan yang sedang bersantap di rumah makan ini.
Permukaan Embung Klamalu
Setelah menikmati makan siang di salah satu warung makan di pusat Distrik Aimas, kami melanjutkan perjalanan melintasi Kota Sorong, menuju Taman Rekreasi Pantai Tanjung Kasuari. Pantai yang terletak 7 kilometer ke arah timur Kota Sorong ini juga merupakan obyek wisata favorit warga Kota Sorong. Selain memiliki kawasan untuk umum, di garis pantai yang sama terdapat juga pantai-pantai privat dengan berbagai nama. Sepanjang perjalanan, kami bertemu banyak angkutan umum yang disewa oleh para wisatawan lokal yang akan berkunjung ke pantai ini.
Pantai Tanjung Kasuari
Setelah melihat suasana di sekitar Pantai Tanjung Kasuari, saya jadi mengerti kenapa pantai ini menjadi tempat wisata favorit warga Kota Sorong. Hembusan angin laut dan pepohonan di sepanjang pantai membawa suasana sejuk, kontras dengan hawa Kota Sorong yang umumnya panas. Selain itu, Pantai Tanjung Kasuari merupakan pantai yang aman untuk berenang, walaupun pantai ini berhadapan dengan laut lepas. Jika dilihat dengan seksama, 100 meter dari bibir pantai terdapat deretan batu karang, sehingga ombak yang mengarah ke pantai akan pecah saat menghantam batu karang tersebut. Deretan karang ini menjadi keunikan bagi Pantai Tanjung Kasuari, karena walaupun dasar pantai berkarang, namun tepian pantai memiliki hamparan pasir putih yang halus.

Dalam perjalanan kembali ke Kota Sorong, kami mampir ke daerah Bukit Baru. Daerah ini sebenarnya bukan merupakan destinasi wisata, namun sebuah bukit besar yang terletak di tengah Kota Sorong. Dari puncak Bukit Baru, akan terlihat pemandangan Kota Sorong, pantai kota Sorong yang dikenal dengan nama Pantai Dofior, serta Pulau Doom yang terletak di seberang Kota Sorong. Pulau Doom merupakan tempat pemukiman pertama di Kota Sorong sejak bangsa Belanda datang ke Sorong pada tahun 1930-an, dan sampai saat ini masih dihuni.
Pulau Doom Dilihat dari Bukit Baru
Wisata akhir pekan kami di Sorong diakhiri dengan menunggu matahari terbenam di Pantai Dofior. Penduduk setempat lebih mengenai pantai ini sebagai “Pantai Tembok Berlin”, karena sepanjang pantai ini terdapat tembok sepanjang 3 kilometer dengan tinggi 1,5 meter dan lebar 1 meter, yang berfungsi sebagai tanggul sekaligus pemecah ombak. Di sore hari, pantai ini merupakan tempat favorit warga Kota Sorong. Sebagian dari mereka ada yang duduk-duduk di tembok sambil menunggu panorama matahari terbenam sekaligus menikmati hembusan angin, sebagian lagi ada yang menikmati wisata kuliner berupa kudapan ringan atau early dinner dari warung-warung tenda yang menjajakan makanan di sepanjang Pantai Tembok Berlin.
Pantai Tembok Berlin, Kota Sorong
Walaupun sore itu cuaca berawan, namun kami akhirnya dapat melihat matahari terbenam di timur Indonesia. Semburat warna kuning dan biru di langit, berpadu dengan arak-arakan awan di langit, pantulan sinar matahari di permukaan laut, dan siluet kapal yang berlayar di depan Pantai Tembok Berlin menghasilkan panorama yang unik yang tidak bisa ditemukan di tempat-tempat lain. Adalah suatu sensasi tersendiri, menikmati panorama matahari terbenam dari Pantai Kota Sorong, ujung barat dari pulau paling timur Nusantara.  

Keterangan : Artikel asli dimuat di Kompasiana.

"Blusukan" ke Pengrajin Batik di Pekalongan

Hawa panas yang bercampur aroma malam di ruangan kerja yang penuh sesak itu tidak membuat kami mengurungkan niat untuk melihat-lihat proses pembuatan batik. Terlihat tangan-tangan terampil para pembatik wanita tengah sibuk membubuhkan malam panas dengan canting di atas kain mori, sementara para pembatik pria terlihat penuh tenaga menempelkan malam panas menggunakan cap.

Inilah tipikal suasana yang dapat ditemui di hampir semua pengrajin batik, khususnya di Pekalongan. Di bulan Maret 2013, saya dan beberapa teman pecinta batik melakukan perjalanan “blusukan” ke pengrajin batik di Pekalongan. Sebagian besar teman-teman seperjalanan saya mengikuti perjalanan ini lebih untuk wisata belanja, namun bagi saya, perjalanan ini untuk memuaskan keingintahuan saya mengenai proses pembuatan batik secara lebih mendalam.

Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah Rumah Batik Liem Ping Wie, yang terletak di Jl. Raya 192, Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan, 30 menit perjalanan dari Kota Pekalongan. Kedungwuni merupakan salah satu pusat batik Encim atau batik motif Peranakan, yang mulai berkembang pada awal abad ke-20. Salah satu perintis usaha batik Encim di Kedungwuni adalah Oei Kiem Boen, kakek dari Liem Ping Wie. Saat ini dikelola oleh putri keenam Liem Ping Wie yang bernama Liem Poo Hien.

Ketika kami memasuki Rumah Batik Liem Ping Wie, Mbak Hien, demikian panggilan akrab Ibu Liem Poo Hien, menyambut kami dan segera menunjukkan workshop tempat memproduksi batik. Dimulai dari mola (mempola), mencanting dan menembok, mencap, mewarnai, melorot, dan bahkan ada petugas khusus yang mengerok malam yang rusak akibat proses pelorotan. Memang belum seluruh proses pembuatan batik dapat kami saksikan, namun hal itu sudah mewakili sebagian proses pembuatan batik yang terbilang rumit. Warna dan pola batik yang diproduksi di workshop ini adalah tipikal batik Encim, yaitu motif burung hong, kura-kura, liong (naga), yang dipadukan dengan warna-warna cerah.


Mas Huda, salah satu pengusaha muda batik Pekalongan yang mengantar kami, menunjukkan salah satu batik tulis hasil produksi Rumah Batik Liem Ping Wie. Sekilas dilihat, pola batik tersebut sangat halus dan detail. Mas Huda menjelaskan bahwa untuk menghasilkan batik tulis halus tersebut membutuhkan waktu hingga 2 tahun. Tak heran jika harganya menjadi mahal, berkisar antara 2 juta hingga 15 juta Rupiah, bergantung pada tingkat kehalusan batik. Namun jika diperhatikan dengan seksama, Batik Encim yang diproduksi oleh Rumah Batik Liem Ping Wie memang memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan Batik Encim pada umumnya. 


Usai melihat-lihat workshop, kami pun memilih-milih batik yang dijual oleh Rumah Batik Liem Ping Wie. Sambil melayani transaksi pembelian batik, Mbak Hien menjelaskan bahwa membuat batik itu tidak mudah, bahkan bisa menimbulkan stress. Ada kesalahan sedikit dalam proses pembuatan, misalnya malam yang rusak atau kain yang robek, seluruh proses harus diulang dari awal. Belum lagi saat ini jumlah pengrajin di Pekalongan sangat banyak, sehingga mereka harus bersaing dengan para pengrajin batik lainnya. Namun semua itu dijalani Mbak Hien sambil berserah diri pada Yang Maha Kuasa. 


Mbak Hien juga menyebutkan bahwa para karyawannya yang berjumlah 15 orang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses produksi batiknya. Berulangkali Mbak Hien menekankan bahwa kesejahteraan karyawan dan keluarga mereka penting untuk diperhatikan. Sebuah keunikan di daerah Pekalongan, para pengrajin batik telah sepakat tidak meliburkan karyawan pada hari Minggu, melainkan pada hari Jum’at, karena mereka tidak ingin jam kerjanya terpotong waktu shalat Jum’at. Oleh karena itu, pocokan atau bayaran para pembatik biasanya dibayarkan pada hari Kamis sore. Demikian juga dengan Mbak Hien, setiap hari Kamis ia harus mempersiapkan bayaran bagi para karyawannya. Bagi Mbak Hien, para karyawan, atau lebih sering disebut sebagai “anak-anak”, adalah bagian dari keluarganya.

Setelah transaksi pembelian batik selesai dan kami beranjak dari Rumah Batik Liem Ping Wie, saya merasa mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Batik rupanya tidak sekadar kain dengan motif cantik dan warna yang menawan, tetapi lebih dari itu, batik adalah sebuah karya seni yang dihasilkan secara kolektif dengan melibatkan banyak tangan-tangan terampil. Menjaga keberadaan industri batik di Pekalongan tidak hanya menjadi bagian dari pelestarian budaya tradisional Indonesia, namun lebih dari itu, industri batik juga turut berperan dalam meningkatkan kesejahteraan mereka yang terlibat di dalamnya.
Lomba Blog MTTP - @BPKoprol