Wednesday, December 25, 2013

Love Journey 2: Mengeja Seribu Wajah Indonesia


Alhamdulillah, antologi pertama saya akhirnya terbit ...

Buku ini berisi kumpulan kisah-kisah perjalanan para traveler di Indonesia. Berbeda dengan tulisan traveling yang umumnya menceritakan tentang keindahan sebuah tempat, buku ini justru mengupas sisi lain dari perjalanan tersebut. Ada suka, duka, perayaan, tragedi, kekayaan budaya, dan hal-hal lain yang terkadang luput dari perhatian kita selama melakukan perjalanan.

Tulisan dalam buku ini berasal dari peserta kompetisi yang digawangi Lalu Abdul Fatah dan Dee An, setelah mereka berdua menelurkan buku antologi Love Journey : Ada Cinta di Tiap Perjalanan. Melalui seleksi dan penilaian, terpilih 20 tulisan peserta dan 5 tulisan kontributor tamu yang mengisi buku ini, dan salah satunya adalah kisah perjalanan saya blusukan ke para pengrajin batik di Pekalongan. Bagaimana kisah lengkap lahirnya buku ini, Anda bisa mengikutinya dari blog Lalu Abdul Fatah berikut ini: http://lafatah.wordpress.com/2013/12/24/di-balik-mengeja-seribu-wajah-indonesia/.

Buku terbitan de Teens (imprint dari Diva Press) ini dibandrol dengan harga Rp 58.000, dan rencananya akan beredar di toko-toko buku pada awal tahun 2014. Nantikan kehadirannya di toko-toko buku terdekat di kota Anda!


Thursday, September 26, 2013

Tirta Gangga, Taman Air dari Masa Lalu

Naik Citilink dari Jakarta ke Denpasar, tentunya banyak yang bisa dilihat. Namun jika ke pantai sudah, wisata belanja ke pasar seni sudah, kuliner sudah, apalagi yang bisa dilihat?

Saya mencoba browsing di internet, dan akhirnya menemukan nama Tirta Gangga. Nama ini terdengar indah, namun tampaknya kurang populer di antara wisatawan domestik. Bahkan hampir semua web yang mengisahkan tentang Tirta Gangga ini menggunakan bahasa Inggris.

Berbekal pengetahuan dari internet, saya dan Ibu saya melakukan perjalanan panjang dari Kuta menuju Tirta Gangga. Setelah menempuh perjalanan 80 km selama 2 jam, tibalah kami di Amlapura, ibukota Kabupaten Karangasem. Tirta Gangga terletak 7 kilometer ke arah utara dari Amlapura, namun tidak mudah untuk menemukannya, karena tempat ini terletak di balik deretan restoran dan penginapan.

Secara harfiah, Tirta Gangga berarti “air dari Gangga”, yang mengambil nama sungai suci umat Hindu di India. Taman air ini dibangun sejak tahun 1937 oleh Ida Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem, raja terakhir dari Kerajaan Karangasem. Karena pembangunan masih dilaksanakan secara tradisional, Tirta Gangga baru selesai dibangun pada tahun 1948. Tanggal 18 September 1948, taman air ini diresmikan oleh P.T.Br.M. Boon, Residen Bali dan Lombok. Saat ini, Tirta Gangga dikelola yayasan di bawah pimpinan Anak Agung Gede Dharma Widoere Djelantik dan Anak Agung Ayu Suryawati Djelantik, cucu langsung dari Raja Anglurah Ketut Karangasem.

Pak Komang, guide yang memandu kami sejak gerbang masuk Tirta Gangga, menjelaskan bahwa taman air Tirta Gangga menempati area 1,2 hektar, dan terdiri dari beberapa kolam. Memasuki pintu gerbang, kami disambut kolam-kolam besar. Di kolam yang terbesar terdapat pulau panjang yang berisi patung-patung buta (raksasa) dalam berbagai bentuk, sehingga pulau ini dikenal juga sebagai “Demon Island”. Untuk menuju pulau tersebut, terdapat 2 buah jembatan berhias naga. Kolam ini dihuni oleh ikan-ikan koi yang tak hanya mempercantik kolam, namun menurut Pak Komang juga menjaga kejernihan kolam karena ikan-ikan tersebut memakan rumput yang ada di dasar kolam. Ketika kami melintas, ikan-ikan koi yang berukuran besar tersebut mendekat ke arah kami, seolah turut menyambut kehadiran kami di Tirta Gangga.

Jembatan Naga menuju Demon Island
 Di sisi kolam yang terbesar, terdapat dua buah kolam yang lebih kecil, yang menjadi pusat keindahan Tirta Gangga saat ini. Kolam yang terdepan memiliki deretan patung-patung tokoh kisah Mahabharata. Di antara patung-patung tersebut, terdapat pijakan kaki yang memungkinkan pengunjung berjalan di atas kolam dan berfoto dengan latar belakang patung-patung tersebut. Tempat ini menjadi favorit wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara.Bersebelahan dengan kolam Mahabharata, terdapat kolam Nawa Sanga, yang terdiri dari air mancur 11 tingkat yang dikelilingi 8 arca, masing-masing arca menghadap ke 8 penjuru mata angin.

Kolam Mahabharata

Pak Komang mengajak kami ke bagian atas dari taman air ini. Kami melewati kolam renang yang bisa dipakai umum, dan saat kami melintas banyak tamu mancanegara yang tengah berenang di kolam tersebut. Setelah melewati beberapa anak tangga, kami tiba di titik tertinggi taman air Tirta Gangga. Di titik tertinggi ini terdapat mata air Rejasa, yang menjadi sumber air yang mengaliri seluruh kolam di Tirta Gangga, sekaligus sebagai sumber irigasi dan kebutuhan air minum di Kota Amplapura. Mata air ini dianggap sebagai air suci, sehingga keberadaannya dilindungi bangunan candi, serta di dekatnya terdapat sanggah untuk beribadah.  Pada hari upacara, penduduk sekitar taman air akan berduyun-duyun menuju ke air suci sambil membawa sesaji dan berbagai atribut upacara lainnya.

Candi yang Menaungi Mata Air
 Sambil menunjukkan  jalan keluar, Pak Komang menjelaskan bahwa karena pernah hancur akibat letusan Gunung Agung di tahun 1963, saat ini wajah  Tirta Gangga tidak sama dengan wajah aslinya saat dibangun. Saat ini sudah banyak tambahan-tambahan seperti patung-patung binatang di dekat pintu gerbang, jembatan naga di “Demon Island”, sepasang patung barong, serta Kolam Saraswati yang menampilkan arca dewi ilmu pengetahuan dan kesenian.

Sebelum meninggalkan Tirta Gangga, saya menyempatkan diri melihat ke arah hamparan sawah yang terletak bersebelahan dengan kompleks taman air ini. Membayangkan di masa lalu Raja Karangasem tengah menatap ke arah taman air yang dikelilingi hamparan sawah yang subur berwarna kehijauan, rasanya sungguh romantis!


Keterangan : Artikel asli dimuat di Citilink Story.

Saturday, August 31, 2013

Menjelajah Pulau-Pulau Granit di Belitong

Hari itu akhir pekan pertama di bulan Oktober tahun 2011, dan langit yang terang benderang tanpa angin seolah mengiringi kami berenam dalam perjalanan menjelajahi pulau-pulau kecil di perairan pantai utara Pulau Belitung. Belitung, atau oleh masyarakat asli pulau ini disebut sebagai Belitong, adalah pulau kecil di sisi timur Pulau Sumatra, dan merupakan bagian dari Provinsi Bangka Belitung. Pulau penghasil lada dan timah ini menjadi populer sebagai destinasi wisata alam, seiring dengan ketenaran film Laskar Pelangi yang menampilkan keindahan pantai pasir putih dan batu-batu granit yang menyembul di permukaan air.
Di Pantai Tanjung Kelayang

Perjalanan kami mengarungi perairan di sisi utara Belitung sangat menyenangkan, karena arus perairan yang tenang nyaris tanpa alunan ombak. Warna langit yang cerah terpantul pada permukaan air, sehingga tampak biru berkilau. Cerahnya langit membuat kami dapat melihat batas antara laut dangkal dan laut yang lebih dalam dengan jelas. Pemandangan ini diperkaya dengan garis pantai berpasir putih yang menghiasi hampir setiap pulau yang ada di perairan ini, dihiasi formasi batu granit khas pantai-pantai di Belitung. Warna laut yang biru berkilau berpadu dengan batu granit yang besar-besar memberikan pemandangan yang menakjubkan, yang jarang ditemui di tempat lain.
Kami memulai perjalanan dari Pantai Tanjung Kelayang. Setelah kapal nelayan menyalakan mesin dan mengangkat sauh untuk menuju ke gugusan pulau-pulau kecil tersebut, kami pun mulai menikmati pemandangan formasi batu-batu unik khas pantai Belitung. Formasi pertama yang kami temui adalah Pulau Batu Kelayang yang terletak di seberang Pantai Tanjung Kelayang. Bentuk formasi batu ini sangat unik, karena menyerupai bentuk burung kelayang atau burung garuda, sehingga formasi ini sering disebut sebagai Batu Garuda.
Batu Garuda di Pantai Tanjung Kelayang
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah lokasi Pulau Pasir, yang berupa hamparan pasir putih yang halus dan hanya terlihat ketika air sedang surut. Sayang sekali, ketika kami lewat laut sedang pasang, sehingga kami tak bisa melihatnya dan hanya bisa membayangkan pulau berpasir yang halus dengan bintang-bintang laut bertaburan di atasnya. Namun nelayan yang membawa kami sengaja membawa kapalnya memutari lokasi pulau ini, agar kami bisa mengintip keindahan Pulau Pasir dari balik permukaan air.

Kapal kemudian mengarah ke Pulau Babi Kecil, yang terletak di sisi selatan Pulau Babi, pulau terbesar di gugusan pulau pantai utara Belitung. Keistimewaan pulau ini adalah adanya batu granit terbesar yang bisa ditemui di gugusan pulau-pulau pantai utara Belitung. Ketika kami mencoba mendaki batu yang paling besar untuk berfoto di atasnya, kami sempat mengalami kesulitan. Namun setelah kami berhasil mencapai bagian atas batu dan melihat pemandangan dari sana, rasanya luar biasa…
Panorama dari Pulau Babi Kecil
 Puas berfoto-foto di Pulau Babi Kecil, kami pun berpindah ke Pulau Lengkuas. Pulau ini merupakan pulau terluar di gugusan pulau pantai utara Belitung, sekaligus pulau yang paling terkenal karena keberadaan mercusuar di sana. Dalam perjalanan menuju Pulau Lengkuas, kami mulai merasakan perahu yang terayun-ayun. Rupanya karena letak pulau ini berbatasan dengan laut lepas, pertemuan antara arus laut antar pulau dan laut lepas mengakibatkan arus laut yang berada di perairan ini lebih kuat dibandingkan yang kami rasakan sebelumnya.

Mendarat di Pulau Lengkuas, rupanya banyak wisatawan lain yang juga berkunjung di sana. Tanpa membuang waktu, kami bergegas menuju mercusuar. Mercusuar setinggi 60 meter buatan tahun 1882 ini masih berfungsi dengan baik untuk menuntun lalu lintas kapal keluar masuk pulau Belitung. Semula kami ingin menaiki mercusuar untuk melihat pulau-pulau lain di sekitar Pulau Lengkuas, namun ternyata pintu mercusuar tertutup dan kami tak bisa masuk. Walaupun agak kecewa, kami mengerti karena mercusuar ini masih berfungsi sebagai penuntun kapal, sehingga jika didatangi terlalu banyak wisatawan dikhawatirkan akan mengganggu para petugasnya.

Saat itu sudah tengah hari, sehingga kami menggelar tikar dan membuka perbekalan yang kami bawa. Di pulau ini tidak ada penjual makanan, sehingga semua wisatawan yang datang ke tempat ini memang harus membawa sendiri perbekalannya dari Belitung. Sambil menikmati makan siang, kami mulai mengamati aktivitas para wisatawan di pulau ini. Pada umumnya mereka datang ke pulau ini untuk duduk-duduk menikmati pemandangan. Sekelompok pecinta fotografi tampak sedang berburu foto. Sedangkan di salah satu formasi batu granit yang terletak di pantai, terdapat sekelompok orang yang sedang belajar snorkeling.
Mercusuar Pulau Lengkuas
 Pulau Lengkuas memiliki formasi batu-batu besar yang terletak di pantai yang sangat menawan untuk dijadikan lokasi berfoto. Tanpa membuang waktu, setelah makan siang kami pun mulai menjelajahi batu-batu besar tersebut. Untuk mencapainya, kami harus melewati genangan air laut setinggi lutut. Basah sedikit tak mengapa, asal mendapatkan pemandangan Pulau Lengkuas yang unik dan menakjubkan!

Setelah puas menjelajah Pulau Lengkuas, kami kembali ke perahu dan nelayan mengarahkan perahu menuju Pulau Burung. Nama pulau ini berasal dari formasi batu berbentuk paruh burung yang terletak di perairan pulau ini. Pulau ini terasa lebih sejuk dibandingkan pulau-pulau yang kami kunjungi sebelumnya, karena banyaknya pepohonan. Setelah berfoto-foto dan bermain pasir, kami beristirahat dan minum kelapa muda segar dari warung yang ada di pulau ini.
Landmark Pulau Burung
Melihat langit mulai berawan gelap, kami memutuskan untuk segera naik ke perahu dan kembali ke Tanjung Kelayang. Perjalanan kembali ke Pantai Tanjung Kelayang terasa lebih mendebarkan daripada sebelumnya, karena perahu berayun-ayun terkena arus laut yang lebih kencang. Ketika kami melihat sekeliling, suasana terlihat sangat dramatis, di mana warna langit yang gelap terpancar pada warna lautan. Nelayan yang membawa kami sempat menunjukkan Batu Berlayar, formasi batu granit yang menjulang tinggi seperti layar perahu. Jika laut sedang surut, kapal bisa merapat dan batu ini bisa didekati. Namun karena saat itu laut sedang pasang, dan cuaca buruk, kami hanya mengambil foto batu tersebut dari atas perahu. Untungnya ketika kami merapat di Pantai Tanjung Kelayang, cuaca sudah cukup terang.

Sore itu kami diberkahi cuaca yang cerah, sehingga semula kami berniat melihat matahari terbenam dari Tanjung Binga, sesuai rekomendasi nelayan yang mengantar kami keliling pulau. Namun karena saat itu sudah terlalu sore, maka kami mencoba menikmati panorama matahari terbenam dari pantai di depan Hotel Lor In tempat kami menginap. Pada akhirnya, kami mendapatkan matahari yang tampak malu-malu terbenam di sela-sela langit yang berawan. Paduan panorama matahari terbenam dengan pantai berpasir putih yang lengang dan air laut yang jernih membuat hati kami bergidik, betapa indahnya panorama Pulau Belitung.
Sunset di Pulau Belitung


Keterangan : Artikel asli dimuat di Kompasiana.

Wisata Sorong, Pintu Gerbang Terdepan Provinsi Papua Barat

Kota Sorong bukan ibukota Provinsi Papua Barat, namun merupakan gerbang terdepan Provinsi Papua Barat, karena hampir semua pesawat yang memiliki tujuan ke Papua Barat mendarat di Sorong. Kota Sorong mungkin lebih dikenal sebagai pintu masuk menuju gugusan Kepulauan Raja Ampat, namun sebenarnya Sorong juga memiliki berbagai potensi wisata yang menarik. Sungguh menarik dapat mengabadikan berbagai keindahan obyek wisata Kota Sorong dan sekitarnya dengan kamera, seperti yang pernah saya lakukan pada penghujung bulan Maret tahun 2012.

Obyek wisata Sorong yang kami kunjungi pertama kali adalah Taman Wisata Alam (TWA) Sorong. TWA Sorong terletak di Km 14 jalan raya antara Sorong-Distrik Aimas, dan saya menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit dari Pusat Kota Sorong. Kawasan konservasi seluas 945,9 hektar ini dibentuk berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI Nomor 188/Kpts-II/1986 tanggal 7 Juni 1986, serta biasanya dimanfaatkan untuk penelitian tanaman dan pengamatan burung.
Pintu Gerbang TWA Sorong

Memasuki kawasan TWA Sorong, kami disambut pepohonan tinggi yang mewakili ekosistem hutan dataran rendah iklim tropis basah. Berbeda dengan taman hutan raya yang pernah kami kunjungi sebelumnya, walaupun saat kami berkunjung merupakan akhir pekan, namun kami tak melihat ada pengunjung lain yang masuk ke kawasan ini. Seandainya kami punya waktu lebih lama, kami sebenarnya bisa melakukan trekking ke air terjun, namun karena kami masih punya agenda ke tempat-tempat wisata lainnya, kami hanya berfoto-foto sejenak, kemudian meninggalkan kawasan ini menuju obyek wisata berikutnya.
Suasana di TWA Sorong

Tujuan kami berikutnya adalah Bendungan Klasmesen, yang terletak di Kelurahan Klamalu, Distrik Aimas, Kabupaten Sorong. Karena ukurannya yang tidak terlalu besar (kurang lebih hanya 125 hektar), seringkali bendungan ini lebih tepat disebut sebagai waduk mikro atau embung, dan dikenal sebagai Embung Klamalu. Waduk ini dibangun untuk irigasi di wilayah Kelurahan Klamalu, serta dimanfaatkan sebagai obyek wisata bagi warga Kota Sorong dan Kabupaten Sorong. Dari pusat Distrik Aimas, diperlukan waktu kurang lebih 30 menit untuk menuju ke bendungan ini.
Bendungan Klasmesen
 Kami tiba di Embung Klamalu tepat tengah hari, dan saat itu cuaca sangat cerah. Cuaca cerah ini membuat kami bisa menikmati pemandangan di sekitar waduk yang masih sangat alami, dengan warna-warni pepohonan yang mengelilingi waduk terpantul dengan jelas di permukaan air. Di atas danau terlihat juga perahu kayu dan perahu bebek yang bisa digunakan untuk mengelilingi danau. Kami pun sempat melihat pintu air yang digunakan untuk mengatur debit alir ke sawah-sawah di sekitar Kelurahan Klamalu. Di sekitar danau, terdapat beberapa rumah makan lesehan yang dilengkapi dengan kolam pemancingan dan fasilitas bermain anak-anak. Saat kami berkunjung, kami melihat beberapa wisatawan yang sedang bersantap di rumah makan ini.
Permukaan Embung Klamalu
Setelah menikmati makan siang di salah satu warung makan di pusat Distrik Aimas, kami melanjutkan perjalanan melintasi Kota Sorong, menuju Taman Rekreasi Pantai Tanjung Kasuari. Pantai yang terletak 7 kilometer ke arah timur Kota Sorong ini juga merupakan obyek wisata favorit warga Kota Sorong. Selain memiliki kawasan untuk umum, di garis pantai yang sama terdapat juga pantai-pantai privat dengan berbagai nama. Sepanjang perjalanan, kami bertemu banyak angkutan umum yang disewa oleh para wisatawan lokal yang akan berkunjung ke pantai ini.
Pantai Tanjung Kasuari
Setelah melihat suasana di sekitar Pantai Tanjung Kasuari, saya jadi mengerti kenapa pantai ini menjadi tempat wisata favorit warga Kota Sorong. Hembusan angin laut dan pepohonan di sepanjang pantai membawa suasana sejuk, kontras dengan hawa Kota Sorong yang umumnya panas. Selain itu, Pantai Tanjung Kasuari merupakan pantai yang aman untuk berenang, walaupun pantai ini berhadapan dengan laut lepas. Jika dilihat dengan seksama, 100 meter dari bibir pantai terdapat deretan batu karang, sehingga ombak yang mengarah ke pantai akan pecah saat menghantam batu karang tersebut. Deretan karang ini menjadi keunikan bagi Pantai Tanjung Kasuari, karena walaupun dasar pantai berkarang, namun tepian pantai memiliki hamparan pasir putih yang halus.

Dalam perjalanan kembali ke Kota Sorong, kami mampir ke daerah Bukit Baru. Daerah ini sebenarnya bukan merupakan destinasi wisata, namun sebuah bukit besar yang terletak di tengah Kota Sorong. Dari puncak Bukit Baru, akan terlihat pemandangan Kota Sorong, pantai kota Sorong yang dikenal dengan nama Pantai Dofior, serta Pulau Doom yang terletak di seberang Kota Sorong. Pulau Doom merupakan tempat pemukiman pertama di Kota Sorong sejak bangsa Belanda datang ke Sorong pada tahun 1930-an, dan sampai saat ini masih dihuni.
Pulau Doom Dilihat dari Bukit Baru
Wisata akhir pekan kami di Sorong diakhiri dengan menunggu matahari terbenam di Pantai Dofior. Penduduk setempat lebih mengenai pantai ini sebagai “Pantai Tembok Berlin”, karena sepanjang pantai ini terdapat tembok sepanjang 3 kilometer dengan tinggi 1,5 meter dan lebar 1 meter, yang berfungsi sebagai tanggul sekaligus pemecah ombak. Di sore hari, pantai ini merupakan tempat favorit warga Kota Sorong. Sebagian dari mereka ada yang duduk-duduk di tembok sambil menunggu panorama matahari terbenam sekaligus menikmati hembusan angin, sebagian lagi ada yang menikmati wisata kuliner berupa kudapan ringan atau early dinner dari warung-warung tenda yang menjajakan makanan di sepanjang Pantai Tembok Berlin.
Pantai Tembok Berlin, Kota Sorong
Walaupun sore itu cuaca berawan, namun kami akhirnya dapat melihat matahari terbenam di timur Indonesia. Semburat warna kuning dan biru di langit, berpadu dengan arak-arakan awan di langit, pantulan sinar matahari di permukaan laut, dan siluet kapal yang berlayar di depan Pantai Tembok Berlin menghasilkan panorama yang unik yang tidak bisa ditemukan di tempat-tempat lain. Adalah suatu sensasi tersendiri, menikmati panorama matahari terbenam dari Pantai Kota Sorong, ujung barat dari pulau paling timur Nusantara.  

Keterangan : Artikel asli dimuat di Kompasiana.

"Blusukan" ke Pengrajin Batik di Pekalongan

Hawa panas yang bercampur aroma malam di ruangan kerja yang penuh sesak itu tidak membuat kami mengurungkan niat untuk melihat-lihat proses pembuatan batik. Terlihat tangan-tangan terampil para pembatik wanita tengah sibuk membubuhkan malam panas dengan canting di atas kain mori, sementara para pembatik pria terlihat penuh tenaga menempelkan malam panas menggunakan cap.

Inilah tipikal suasana yang dapat ditemui di hampir semua pengrajin batik, khususnya di Pekalongan. Di bulan Maret 2013, saya dan beberapa teman pecinta batik melakukan perjalanan “blusukan” ke pengrajin batik di Pekalongan. Sebagian besar teman-teman seperjalanan saya mengikuti perjalanan ini lebih untuk wisata belanja, namun bagi saya, perjalanan ini untuk memuaskan keingintahuan saya mengenai proses pembuatan batik secara lebih mendalam.

Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah Rumah Batik Liem Ping Wie, yang terletak di Jl. Raya 192, Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan, 30 menit perjalanan dari Kota Pekalongan. Kedungwuni merupakan salah satu pusat batik Encim atau batik motif Peranakan, yang mulai berkembang pada awal abad ke-20. Salah satu perintis usaha batik Encim di Kedungwuni adalah Oei Kiem Boen, kakek dari Liem Ping Wie. Saat ini dikelola oleh putri keenam Liem Ping Wie yang bernama Liem Poo Hien.

Ketika kami memasuki Rumah Batik Liem Ping Wie, Mbak Hien, demikian panggilan akrab Ibu Liem Poo Hien, menyambut kami dan segera menunjukkan workshop tempat memproduksi batik. Dimulai dari mola (mempola), mencanting dan menembok, mencap, mewarnai, melorot, dan bahkan ada petugas khusus yang mengerok malam yang rusak akibat proses pelorotan. Memang belum seluruh proses pembuatan batik dapat kami saksikan, namun hal itu sudah mewakili sebagian proses pembuatan batik yang terbilang rumit. Warna dan pola batik yang diproduksi di workshop ini adalah tipikal batik Encim, yaitu motif burung hong, kura-kura, liong (naga), yang dipadukan dengan warna-warna cerah.


Mas Huda, salah satu pengusaha muda batik Pekalongan yang mengantar kami, menunjukkan salah satu batik tulis hasil produksi Rumah Batik Liem Ping Wie. Sekilas dilihat, pola batik tersebut sangat halus dan detail. Mas Huda menjelaskan bahwa untuk menghasilkan batik tulis halus tersebut membutuhkan waktu hingga 2 tahun. Tak heran jika harganya menjadi mahal, berkisar antara 2 juta hingga 15 juta Rupiah, bergantung pada tingkat kehalusan batik. Namun jika diperhatikan dengan seksama, Batik Encim yang diproduksi oleh Rumah Batik Liem Ping Wie memang memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan Batik Encim pada umumnya. 


Usai melihat-lihat workshop, kami pun memilih-milih batik yang dijual oleh Rumah Batik Liem Ping Wie. Sambil melayani transaksi pembelian batik, Mbak Hien menjelaskan bahwa membuat batik itu tidak mudah, bahkan bisa menimbulkan stress. Ada kesalahan sedikit dalam proses pembuatan, misalnya malam yang rusak atau kain yang robek, seluruh proses harus diulang dari awal. Belum lagi saat ini jumlah pengrajin di Pekalongan sangat banyak, sehingga mereka harus bersaing dengan para pengrajin batik lainnya. Namun semua itu dijalani Mbak Hien sambil berserah diri pada Yang Maha Kuasa. 


Mbak Hien juga menyebutkan bahwa para karyawannya yang berjumlah 15 orang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses produksi batiknya. Berulangkali Mbak Hien menekankan bahwa kesejahteraan karyawan dan keluarga mereka penting untuk diperhatikan. Sebuah keunikan di daerah Pekalongan, para pengrajin batik telah sepakat tidak meliburkan karyawan pada hari Minggu, melainkan pada hari Jum’at, karena mereka tidak ingin jam kerjanya terpotong waktu shalat Jum’at. Oleh karena itu, pocokan atau bayaran para pembatik biasanya dibayarkan pada hari Kamis sore. Demikian juga dengan Mbak Hien, setiap hari Kamis ia harus mempersiapkan bayaran bagi para karyawannya. Bagi Mbak Hien, para karyawan, atau lebih sering disebut sebagai “anak-anak”, adalah bagian dari keluarganya.

Setelah transaksi pembelian batik selesai dan kami beranjak dari Rumah Batik Liem Ping Wie, saya merasa mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Batik rupanya tidak sekadar kain dengan motif cantik dan warna yang menawan, tetapi lebih dari itu, batik adalah sebuah karya seni yang dihasilkan secara kolektif dengan melibatkan banyak tangan-tangan terampil. Menjaga keberadaan industri batik di Pekalongan tidak hanya menjadi bagian dari pelestarian budaya tradisional Indonesia, namun lebih dari itu, industri batik juga turut berperan dalam meningkatkan kesejahteraan mereka yang terlibat di dalamnya.
Lomba Blog MTTP - @BPKoprol

Monday, July 29, 2013

Wisata Bukan Pantai di Lombok



Lombok merupakan salah satu surga wisata pantai di Indonesia. Kecantikan panorama dan keaslian alam di pantai-pantai Lombok telah menarik perhatian wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.  Terutama saat matahari terbit dan terbenam, panorama yang ditampilkan sangat menggetarkan hati, dengan paduan warna-warna alam yang masih sangat alami.

Pantai Malimbu
 Namun kekayaan wisata Lombok ternyata tak hanya berupa pantai. Banyak tempat-tempat wisata budaya di Lombok yang juga menarik untuk dikunjungi.  Salah satunya adalah Taman Mayura, yang terletak di Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram. Taman ini dibangun oleh Raja Anak Agung Made Karangasem pada tahun 1744, ketika kerajaan Mataram Karangasem menguasai Lombok Barat. Nama Mayura berasal dari kata Mayora, yang dalam bahasa Sanskerta berarti burung Merak. Konon saat pembangunan taman ini, burung merak didatangkan untuk mengusir ular berbisa yang saat itu berkeliaran di sekitar taman. Obyek yang paling terkenal dari Taman Mayura adalah Bale Kambang, atau dikenal sebagai Rat Kerte, yang merupakan sebuah pendopo di atas pulau kecil yang berada di sebuah kolam besar. Pendopo berwarna biru yang dihiasi ukiran ini semula merupakan ruang sidang atau tempat bermusyawarah milik Kerajaan Mataram Karangasem. Selain Bale Kambang, wisatawan juga bisa masuk ke Pura Kelepug dan Pura Jagatnata Mayura, yang merupakan tempat ibadah umat agama Hindu.

Taman Mayura
Anda juga bisa mengunjungi Taman Narmada, yang terletak di Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, kurang lebih 10 km arah timur dari Kota Mataram. Taman seluas 2 hektar ini dibangun pada tahun 1727 oleh Raja Anak Agung Ngurah Karang Asem dari Kerajaan Mataram Karangasem. Taman Narmada merupakan tempat peristirahatan keluarga Raja Mataram Karangasem di musim kemarau, dengan desain yang dibuat seperti miniatur Gunung Rinjani. Nama “Narmada” berasal dari Narmadanadi, nama anak Sungai Gangga yang merupakan sungai suci bagi umat Hindu di India.  Taman Narmada sangat menarik untuk dikunjungi karena tempatnya yang sejuk dengan banyak kolam dan pepohonan. Selain itu di kompleks ini terdapat beberapa bangunan kuno, seperti Bale Terang yang berbentuk rumah panggung yang terbuat dari kayu. Dari Bale Terang, wisatawan bisa melihat pemandangan ke arah Telaga Padmawangi, yang merupakan representasi Segara Muncar di Gunung Rinjani. Di Kompleks Taman Narmada juga terdapat sumber air suci dan Pura Kalasa, yang dianggap sebagai representasi puncak Gunung Rinjani. Pura Kalasa masih digunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu, khususnya untuk penyelenggaraan Upacara Pujawali.

Taman Narmada
 Masih di kecamatan yang sama dengan Taman Narmada, terdapat Kompleks Pura Lingsar. Tempat ini memiliki keunikan tidak hanya digunakan untuk ibadah umat Hindu, tetapi juga digunakan sebagai tempat ibadah pemeluk Islam Wetu Telu. Tempat suci ini sudah ada sejak abad ke-15 dan pertama kali didirikan oleh Datu Wali Milir, seorang pangeran dari Kerajaan Medain yang menganut Agama Islam Wetu Telu. Sedangkan pura yang digunakan untuk ibadah umat Hindu dibangun pada tahun 1744 dibangun oleh Anak Agung Anglurah Gede Karangasem. Salah satu tradisi unik khas Pura Lingsar adalah Perang Topat, yang diselenggarakan oleh penganut agama Hindu dan Islam Wetu Telu sebelum masa menanam padi, sebagai bentuk rasa syukur atas limpahan karunia dari Sang Pencipta.

Pura Lingsar
 Jika Anda bepergian ke arah Lombok Tengah, Anda wajib singgah di Desa Adat Sade yang terletak di Kecamatan Rembitan, Kabupaten Lombok Tengah. Desa Adat Sade telah berdiri selama 600 tahun, dan merupakan salah satu dari 3 desa adat Suku Sasak di Lombok. Untuk berkeliling di Desa Sade, wisatawan akan dipandu oleh para pemuda Sasak untuk melihat Bale Tani, atau rumah tinggal Suku Sasak. Keistimewaan Bale Tani adalah cara perawatan lantainya yang digosok dengan kotoran kerbau. Masyarakat Sasak percaya bahwa kotoran kerbau dapat mengusir serangga, menghangatkan lantai di malam hari, sekaligus untuk menangkal serangan magis yang ditujukan pada penghuni rumah. Wisatawan juga bisa membeli cenderamata berupa tenunan songket khas Suku Sasak.

Desa Sade

Tulisan ini disertakan dalam http://www.voucherhotel.com/travel/kontes/

Friday, July 26, 2013

Mari Berwisata Ke Sungai Musi!




Jembatan Ampera di atas Sungai Musi
Palembang, kota terbesar kedua di Pulau Sumatera, sekaligus kota tertua di Indonesia. Bukti Palembang sebagai kota tertua di Indonesia tercantum dalam prasasti Kedukan Bukit, di mana Palembang diperkirakan sudah berdiri sejak tahun 682 Masehi. Selain dikenal sebagai situs Pusat Kerajaan Sriwijaya, Palembang juga memiliki Sungai Musi, yang merupakan sungai terpanjang di Sumatera. Hingga hari ini, Sungai Musi masih menjadi sarana transportasi penting bagi warga Palembang dan sekitarnya.

Di atas Sungai Musi, membentang Jembatan Ampera, yang menghubungkan sisi Ulu dan sisi Ilir dari Kota Palembang. Jembatan ini dibangun pada tahun 1962, dan pada masanya merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara. Saat ini Pemda Sumatera Selatan berupaya mengembangkan wisata Sungai Musi menjadi salah satu wisata andalan kota Palembang. Saat ini telah tersedia perahu-perahu yang berangkat dari Dermaga Benteng Kuto Besak yang berada di sisi Ilir dari Jembatan Ampera. Selain itu, Pemda Sumatera Selatan juga menyediakan KM Putri Kembang Dadar yang melayani wisatawan untuk menyusuri Sungai Musi. 

KM Putri Kembang Dadar

KM Putri Kembang Dadar beroperasi secara reguler setiap hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional, pukul 10.00 dan pukul 15.00. Di luar jadwal reguler, Anda bisa mencarter kapal penumpang ini untuk berbagai acara seperti seminar, reuni, jamuan makan, pesta pernikahan dan lain sebagainya. KM Putri Kembang Dadar berangkat dari Dermaga Benteng Kuto Besar, kemudian bergerak ke arah hilir. Banyak hal menarik yang bisa dilihat, seperti pemukiman penduduk di tepi Sungai Musi, pabrik PT Pupuk Sriwijaya, Pelabuhan 35 Ilir, Kompleks Perumahan Pertamina Bagus Kuning, dan Kelenteng Pulau Kemaro. Selama perjalanan, akan terlihat berbagai perahu tradisional dan modern yang digunakan untuk transportasi penduduk Sumatera Selatan. Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan, kapal akan berputar di depan Pulau Kemaro, dan membawa wisatawan kembali ke Dermaga BKB.

Selain menikmati perjalanan susur Sungai Musi dan kemegahan Jembatan Ampera, Anda juga bisa mengunjungi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II). Museum ini terletak di depan Dermaga Benteng Kuto Besak. Museum yang dikelola oleh Pemda Sumatera Selatan ini menempati bangunan antik bekas kantor residen pada masa pendudukan Belanda. Konon lokasi tempat berdirinya bangunan ini merupakan situs bekas Benteng Kuto Lamo yang merupakan keraton Sultan Palembang, sebelum dibumihanguskan oleh Belanda. Museum SMB II dapat dianggap merupakan miniatur dari Sumatera Selatan, karena koleksinya yang sangat lengkap, mulai dari prasasti kerajaan Sriwijaya, benda-benda kebudayaan Sumatera Selatan, dan sejarah kesultanan Palembang.
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II

Tulisan ini disertakan dalam http://www.voucherhotel.com/travel/kontes/

Tuesday, July 23, 2013

Menikmati “Little Nederland” di Semarang



Semarang, ibu Kota provinsi Jawa Tengah. Kota tua di pantai utara Jawa ini tumbuh seiring dengan majunya perdagangan komoditas perkebunan di masa kolonial Belanda. Perkembangannya didukung dengan pembangunan De Grote Postweg di awal abad 19 yang membentang antara Anyer hingga Panarukan, melewati Semarang.

Sebagai salah satu pusat perdagangan VOC di pantai utara Jawa, tak mengherankan jika Semarang memiliki berbagai peninggalan arsitektur dari masa kolonial Belanda, yang terkonsentrasi di Kelurahan Bandarharjo, Semarang Utara. Kawasan yang dikenal dengan nama “Outstadt” ini dipenuhi dengan bangunan bergaya arsitektur khas Eropa, yang mengingatkan sebagian orang dengan suasana negeri Belanda di masa lalu. Tak heran jika Kawasan Kota Tua ini kemudian dijuluki “Little Nederland”.

Titik awal untuk masuk ke kawasan “Little Nederland” adalah Stasiun Semarang Tawang. Stasiun Induk Kota Semarang ini merupakan stasiun kereta api besar tertua di Indonesia, setelah Stasiun Semarang Gudang (yang saat ini sudah tidak berfungsi). Stasiun Tawang mulai digunakan sejak 1868, namun bangunan yang sekarang terlihat adalah bangunan hasil renovasi tahun 1911. Di depan stasiun Tawang terdapat kolam penampungan air atau Polder Tawang, yang berfungsi untuk mengatur sirkulasi air di Semarang, terutama saat terjadi banjir rob yang sering melanda kawasan Semarang Utara.

Stasiun Tawang dilihat dari seberang Polder Tawang

Dari Stasiun Tawang, Anda bisa masuk melalui Jl. Merak atau Jl. Cendrawasih. Jika melalui Jl. Cendrawasih, Anda akan menemui Gedung Marabunta. Ciri gedung ini adalah dua buah patung semut Marabunta (semut merah raksasa) yang terletak di atap gedung.  Bangunan ini adalah replika gedung Komedi Stadschouwburg, yang semula berdiri di atas lahan yang sama. Gedung Komedi Stadschouwburg menjadi terkenal karena pernah menjadi tempat pementasan Mata Hari, seorang penari eksotis berkebangsaan Belanda yang dituduh menjadi mata-mata Jerman pada Perang Dunia I. Jika Anda masuk ke dalamnya terasa seperti memasuki lorong waktu, karena interior bangunan masih mempertahankan interior asli gedung Komedi Stadschouwburg, terutama bagian lantai dan langit-langitnya yang masih terbuat dari kayu.

Gedung Marabunta
 Sebelum berbelok Jl. Letjen Suprapto, Anda akan melihat satu-satunya toko oleh-oleh di kawasan Kota Tua Semarang, yaitu Wingko Babat Cap Kereta Api. Walau dikenal sebagai oleh-oleh khas Semarang, wingko yang terbuat dari kelapa ini sebenarnya berasal dari Kota Babat, Jawa Timur. Wingko Babat Cap Kereta Api merupakan produsen wingko pertama di Semarang, yang didirikan oleh Loe Lan Hwa dan The Ek Tjong. Di toko Wingko Babat Cap Kereta Api, selain membeli wingko, Anda bisa membeli oleh-oleh khas Semarang lainnya.

Wingko Babat Cap Kereta Api


Lanjutkan perjalanan Anda menelusuri Jl. Letjen Suprapto menuju Gereja Blenduk. Ikon Little Nederland dengan nama resmi Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel ini tidak memiliki pagar, sehingga seolah menyatu dengan lingkungan di sekitarnya. Bangunan beratap kubah yang kita lihat sekarang merupakan hasil renovasi pada tahun 1895, dengan gaya arsitektur Pseudo Baroque. Gereja ini masih berfungsi sebagai rumah ibadah. Di luar jam-jam ibadah, Anda bisa melihat ke dalam dengan meminta tolong kepada petugas, dan membayar biaya kebersihan sebesar Rp 10.000 per orang. Namun jika Anda tidak ingin masuk, menikmati suasana sejuk di Taman Srigunting yang terletak bersebelahan dengan Gereja Blenduk pun sudah cukup menarik.

Gereja Blenduk


Tulisan ini disertakan dalam http://www.voucherhotel.com/travel/kontes/