Friday, March 22, 2024

Peta Ciela di Pameran Kartografi Nusa Jawa

 "Payah loe, udah dibantu GM*ps tapi tetep aja nyasar!"

Percakapan ini sepertinya lumrah kita dengar saat ini. Yeps, peta digital memang sangat praktis untuk keperluan mobilisasi di jaman kiwari. Peta merupakan representasi visual dari berbagai elemen yang ada di muka bumi. Perjalanan ilmu kartografi atau pembuatan peta saat ini sudah sedemikian canggih, hingga memungkinkan kita membaca peta dalam versi digital, bahkan dalam genggaman. Namun, seperti apa peta-peta di masa lampau, yang digunakan para pelaut untuk navigasi kapal-kapal mereka menjelajah samudra?

Nusa Jawa dalam pandangan kartografer Portugis Abraham Ortelius 1595

Pameran Kartografi Nusa Jawa yang diselenggarakan antara 16 Januari s/d 30 April 2024 di Museum Bahari memamerkan peta-peta kuno -- khususnya peta pulau Jawa dari abad ke-16. Jika kita bandingkan dengan peta masa kini yang penggambarannya sudah sesuai dengan kondisi nyata, peta-peta kuno tersebut sangat berbeda. Bisa dilihat bahwa peta kuno tersebut mencerminkan interpretasi para pembuat peta jaman dulu terhadap wilayah yang dipetakan. Misalnya pada peta penjelajah Belanda abad 16, pulau Jawa digambarkan sama besarnya dengan pulau Sumatera. Atau peta yang dibuat kartografer Belanda pada tahun 1606, yang memperlihatkan seolah Pulau Jawa dibelah oleh sungai besar dari pantai utara hingga pantai selatan. Peta-peta kuno tersebut saat ini dapat dianggap sebagai sebuah karya seni berbasis kartografi. Selain peta-peta kuno, kita juga diperkenalkan dengan peralatan yang membantu kartografer masa lalu untuk membuat peta atau membantu para pelaut menentukan posisi kapalnya. Di antara peralatan tersebut terdapat sekstan dan teropong panjang.

Peta Pulau Jawa Terpisah oleh Pieter Van Der Aa 1707

Salah satu peta yang ditampilkan adalah Peta Tjiela. Peta Tjiela yang asli ditemukan di Desa Ciela, Kec. Bayongbong, Garut, pada tahun 1858 oleh Karel Frederik Holle, pemilik perkebunan the di CIkajang, Garut. Tuan Holla (panggilan akrab masyarakat Cikajang kepada Holle) memang bukan sekadar juragan perkebunan the, namun juga peminat kebudayaan Sunda. Peta Tjiela tergambar pada sehelai kain kafan berukuran 1 meter x 2 meter. Peta tersebut menggambarkan wilayah yang cukup luas, mencakup wilayah yang sekarang menjadi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, sampai dengan Kabupaten Cilacap. Dalam peta tersebut termuat symbol laut, sungai, gunung, bukit, danau, jalan, dan rawa, dengan symbol yang umum digunakan pada peta yang kita kenal hari ini. Peta tersebut memuat keterangan nama yang ditulis dengan huruf Sunda kuno, seperti Cirebon, Bekassih, dan Nusa Kalapa. Di bagian tengah peta tergambar wilayah kerajaan bernama Timbangaten. Uniknya, arah utara pada peta diletakkan di bagian bawah, sedangkan arah selatan pada bagian atas peta.

Holle meyakini peta tersebut dibuat sekitar tahun 1560. Dugaan ini diperkuat oleh penelitian arkeolog lainnya, yang mengatakan kemungkinan peta tersebut berasal dari abad ke-16. Siapa pembuat peta ini, tidak diketahui, namun peta ini dibuat oleh penduduk Nusantara. Ini menjadi bukti bahwa sejatinya penduduk asli Nusantara sudah mengenal pembuatan peta sebelum para penjelajah Eropa hadir di Nusantara. Salah satu tokoh dari Nusantara yang mengenal peta dan globe adalah Karaeng Pattingalloang, Perdana Menteri dan penasehat utama Raja Gowa di abad ke-17. Dari hasil penelitian lebih lanjut oleh para ahli geologi Indonesia di tahun 1976-1977, penulis buku Prof. P. D. A Harvey menduga bahwa Peta Ciela memiliki kemiripan dengan peta masa awal Dinasti Han dari Cina.

Atas: Puzzle Peta Ciela di Museum Sejarah Jakarta (foto koleksi pribadi, 2019)
Bawah: Salinan Peta Ciela di Pameran Kartografi Nusa Jawa (foto koleksi pribadi, 2024)

Beruntung Holle sempat membuat salinan Peta Tjiela tersebut dan menuliskan ulasan tentang peta tersebut dalam sebuah majalah, karena pada tahun 1975 diketahui peta yang asli telah hilang, diduga terbakar dan hilang tenggelam bersama kapal yang mengangkutnya. Tulisan Holle menjadi sumber awal yang penting dalam menelusuri kartografi yang dilakukan penduduk Nusantara. Di Pameran Kartografi Nusa Jawa kita bisa melihat bentuk salinan dari peta tersebut, sedangkan jika kita ingin melihat dari dekat, kita bisa melihat Peta Tjiela dalam bentuk puzzle yang dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta. Saat ini salinan Peta Tjiela yang dibuat berdasarkan salinan Holle disimpan oleh keluarga Ihak Lukman di Desa Ciela, dan dianggap sebagai benda pusaka.

Mengingat pentingnya peta untuk membantu menunjukkan posisi atau lokasi relative dalam hubungannya dengan tempat lain di permukaan bumi, khususnya dalam aktivitas pelayaran di masa lalu, tidak mengherankan jika pameran ini dibuat di Museum Bahari Jakarta. Museum ini dulu merupakan gudang VOC untuk menyimpan komoditas seperti rempah, kopi, the, tembaga, timah, dan tekstil. Selain melihat-lihat koleksi terkait kebaharian Indonesia, arsitektur museum sendiri juga menarik untuk ditelisik, mengingat museum ini dibangun dengan teknologi abad ke-17, dan masih bertahan hingga sekarang, walaupun dinding-dindingnya harus menghadapi ancaman penggaraman.

Sisa Pilar Kayu dan Pintu yang Terbakar di Memorial Museum Bahari

Selesai melihat pameran peta, saya tertarik dengan ruangan di Gedung sebelah, yang pintunya terbuka dan cukup terang. Ternyata ruangan tersebut merupakan Ruang Memorial Museum Bahari, dan menyimpan informasi terkait peristiwa kebakaran besar pada 16 Januari  2018 yang melalap 64 koleksi museum. Pada ruang memorial ini dipamerkan beberapa kaki pilar, pintu, dan ambang jendela yang terbuat dari kayu jati, yang sebagian besar hangus dilalap si jago merah. Ruangan ini juga menampilkan video upaya pemadaman kebakaran, serta kliping surat kabar yang memuat berita kebakaran tersebut dan upaya pemulihan kembali museum pasca kebakaran. Saat menapakkan kaki, saya baru sadar, mungkin Ruang Memorial ini adalah salah satu ruangan yang ikut terbakar saat itu, karena terdapat bagian ruangan dengan lantai kayu yang terlihat lebih baru dibandingkan bagian ruangan lainnya. Bagi saya, Ruang Memorial ini mungkin menjadi pengingat bagi kita, untuk terus berupaya memitigasi bencana kebakaran agar tidak terjadi lagi, khususnya di museum-museum kita.

Sunday, March 17, 2024

TPU Pandu, Tempat Peristirahatan Terakhir Tokoh-Tokoh Kota Bandung

Mengunjungi Ereveld Pandu, rasanya tak lengkap kalau tak sekalian menjelajah TPU Pandu. TPU Pandu didirikan pada tahun 1932, sebagai bagian dari penertiban pemakaman di Kota Bandung sesuai Bouwverrordening van Bandung tahun 1917. Berdiri di lahan seluas 83.000 m2 (kurang lebih 10 hektar), TPU Pandu memiliki jumlah makam hingga 21 ribu. Daya tarik makam ini adalah merupakan tempat peristirahatan terakhir beberapa tokoh terkenal di Kota Bandung. Tahun 1973, TPU Pandu merupakan salah satu TPU yang digunakan untuk merelokasi makam dari Kerkhoff Kebon Jahe (sekarang menjadi Sarana Olahraga Sport Hall Pajajaran).

Nisan Profesor Schoemaker

Di antara ribuan makam yang ada di TPU Pandu, terdapat nisan Prof. Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker, seorang arsitek dan guru besar Technische Hogeschool te Bandoeng (sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung). Prof. Schoemaker lahir di Banyubiru, Ambarawa, pada 25 Juli 1882. Karirnya diawali sebagai insinyur KNIL, sebelum kemudian mengundurkan diri dan bekerja di biro arsitek. Sebagai guru besar di THB, salah satu murid Schoemaker adalah Ir. Soekarno, presiden pertama RI. Karya arsitektur Schoemaker masih dapat kita lihat hari ini, seperti Gedung Merdeka, Hotel Preanger, Katedral Santo Petrus, Gereja Bethel, Villa Isola, dan Masjid Cipaganti. 

Gedung Merdeka, salah satu karya Prof Schoemaker

Schoemaker wafat pada 22 Mei 1949 dan dimakamkan di TPU Pandu. Namun ironisnya, makam Schoemaker tidak seartistik karya-karyanya. Nisan yang bertuliskan tanggal lahir, tanggal wafat, dan gelar kehormatan Ridder in De Orde van Denetherlandse Leeuw (Ksatria Ordo Singa Belanda) ini seperti batu nisan biasa, tanpa ornament berlebihan, dan terhimpit batu nisan makam-makam lain, sehingga untuk mencapai makam Schoemaker, kita harus melewati atau meloncati makam-makam lainnya.

Konon makam Schoemaker merupakan salah satu makam yang sempat terancam akan dibongkar di tahun 2002, karena tidak ada yang membayar retribusinya. Namun rencana ini urung dilaksanakan, setelah putra mendiang Presiden Soekarno, Guruh Sukarnoputra, mengulurkan bantuan. Di tahun 2003, Juan Schoemaker, cucu dari Schomaker yang sudah lama mencari makam mendiang kakeknya, akhirnya berhasil berkunjung ke makam ini.

Selain makam Schoemaker, di TPU Pandu terdapat makam keluarga Ursone. Keluarga Ursone berkebangsaan Italia, dan datang ke Bandung di tahun 1890-an sebagai musisi. Mereka kemudian mengembangkan usaha pemerahan susu sapi yang berada di Lembang sejak tahun 1895. Mereka merupakan pendiri Bandoengsche Melk Centrale (BMC), yang saat ini masih beroperasi di Jalan Aceh. Keluarga Ursone memiliki lahan yang cukup luas di Lembang, bahkan lahan observatorium Bosscha merupakan hibah dari keluarga Ursone.

Mausoleum Keluarga Ursone

Dibandingkan makam Schoemaker, makam Ursone terlihat lebih menonjol, karena dapat dikatakan merupakan makam paling megah di antara makam yang ada di TPU Pandu. Makam berbentuk mausoleum dengan pilar tinggi ini dihiasi sepasang patung wanita yang sedang menunduk seolah menunjukkan kedukaan. Di atas pilarnya bertuliskan “Orate Pro Nobis” yang bermakna “doakan kami”. Di mausoleum tersebut terdapat nama 8 anggota keluarga Ursone yang (semula) dimakamkan di mausoleum tersebut. Makam bergaya barok ini terbuat dari marmer. Hal ini kemungkinan sangat berkaitan karena salah satu anggota keluarga Ursone, A. Ursone pernah membuka usaha batu marmer yang bernama Carrara Marmerhandel en bewerking di daerah Banceuy, Kota Bandung. Makam ini bukan merupakan makam asli di TPU Pandu, melainkan pindahan dari Kerkhof Kebon Jahe (sekarang GOR Pajajaran). 


Saturday, March 16, 2024

Wisata Pemakaman PD II (5): Ereveld Pandu

Lautan awan yang menggantung di langit Kota Bandung menemani saya melangkahkan kaki dari pintu masuk TPU Pandu, menuju Kompleks Ereveld Pandu. Di pintu masuk TPU Pandu, sudah tertulis bahwa bagi mereka yang akan berkunjung ke Ereveld agar berjalan terus sejauh 100 meter untuk kemudian menekan bel di pintu gerbang. Sesampainya di gerbang Ereveld yang tertutup, saya dibantu salah satu petugas TPU untuk membukakan gerbang Ereveld, sebelum kemudian membunyikan bel memanggil petugas Ereveld.

Ereveld Pandu adalah Taman Makam Kehormatan Belanda yang terletak di tengah-tengah TPU Pandu, tepatnya di Jl. Pandu No. 32, Bandung. TPU Pandu sendiri berdiri pada 1932, lebih tua daripada Ereveld Pandu yang didirikan pada 1948. Ereveld Pandu diresmikan pada 7 Maret 1948 oleh Jendral S.H. Spoor. Pemilihan tanggal tersebut bersamaan dengan peringatan pertempuran Tjiaterstelling di tahun 1942, di mana dalam upacara peresmian Ereveld dilakukan pemakaman kembali 14 jenasah tentara KNIL yang gugur pada pertempuran tersebut. 

Terdapat lebih dari 4000 makam di Ereveld Pandu. Mereka yang dimakamkan di sini adalah mereka yang meninggal di kamp konsentrasi Jepang atau gugur dalam pertempuran selama Perang Dunia II dan di masa Perang Kemerdekaan, baik dari miiter maupun sipil. Antara tahun 1960-1970, sesuai dengan perjanjian sentralisasi Makam Belanda, Ereveld Pandu menerima pemakaman kembali mereka yang semula dimakamkan di ereveld dari Muntok (1960), Palembang (1967), dan Makassar (1968).

Mereka berbaring di bawah naungan Tangkuban Perahu

Saya datang di hari Minggu, sehingga ereveld sangat sepi. Menurut informasi pak Wiradi, petugas jaga malam Ereveld Pandu, Ereveld Pandu banyak menerima pengunjung dari mereka yang ingin berziarah mencari makam kerabatnya, serta dari individu atau rombongan komunitas peminat sejarah. Sekilas melihat, ereveld ini terlihat lebih luas daripada Ereveld Leuwigajah yang saya datangi sebulan lalu, walaupun jumlah makam di Pandu lebih sedikit dibandingkan di Leuwigajah. 

Mirip seperti Ereveld Leuwigajah, Ereveld Pandu juga dilatari pemandangan gunung. Di sisi utara, terlihat jelas siluet Gunung Tangkuban Parahu, walaupun cuaca sedang tidak terlalu cerah. Sedangkan di sisi selatan, terdapat siluet Gunung Halimun, seolah saling berhadapan dengan Gunung Tangkuban Parahu.

Seluas mata memandang, yang terlihat adalah nisan berwarna putih, yang didominasi bentuk salib. Dari bentuk nisannya, dapat diketahui agama dari yang dimakamkan di tempat tersebut. apakah Kristen, Islam, atau Buddha. Jika yang bersangkutan adalah personil militer, biasanya disebutkan pangkat dan asal satuannya. Beberapa makam bertuliskan “Onbekend”, yang berarti “tidak dikenal”. Beberapa makam juga memiliki tulisan yang menjelaskan makam tersebut merupakan pindahan dari ereveld lain. Khusus pemakaman muslim, mereka ditempatkan di blok sendiri dan jenasahnya diatur menghadap kiblat.

Monumen Umum di pintu masuk ereveld

Kekhasan Ereveld Pandu adalah 4 monumen untuk mengenang momen penting, lebih banyak dibandingkan ereveld lain. Monumen pertama adalah monumen umum rancangan A.W. Gmelig Meyling. Monumen ini berdiri di atas platform dan disangga 8 pilar. Di atas monumen terdapat kalimat “Opgerichtter Gedachtenis Aan Hen Die Vielen Als Offer In De Strijd Om Vrede En Recht”, yang bermakna “Dalam kenangan kepada mereka yang gugur berkorban memperjuangkan perdamaian dan keadilan”. Jika di ereveld lain umumnya hanya terdapat 1 monumen peti batu, monumen ini memiliki 2 peti batu yang mengapit tablet granit dengan relief Singa Belanda. Peti batu di sisi kiri diberi lambang helm dan pedang, merupakan monumen bagi “Prajurit Tak Dikenal”. Sedangkan peti batu di sisi kanan diberi lambang obor, merupakan monumen bagi “Warga Sipil Tak Dikenal”.

Monumen KNIL

Monumen kedua adalah Monumen KNIL, yang merupakan replika monumen di Koninklijk Tehuis voor Oud-militairen “Bronbeek” di Arnhem, Belanda. Monumen yang didesain oleh Mrs. Therese de Groot-Haider ini didirikan pada 15 Agustus 1991, menggambarkan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (Koninklijke Nederlands-Indische Leger - KNIL) dengan pakaian dinas lapangan, dilengkapi klewang dan pistol carbine yang menjadi ciri khas KNIL. Keberadaan monumen ini di Ereveld Pandu merupakan bentuk ikatan antara KNIL dan Bandung, karena markas besar KNIL terletak di Bandung.

Monumen ketiga adalah Monumen Padalarang yang terbuat dari 5 pilar dan sebuah buku. Monumen ini merupakan peringatan gugurnya 5 musisi dalam kecelakaan pesawat Koninklijke Luchtvaart Maatschappij Interinsulair Bedrijf DC-3 PK-REA tanggal 10 Februari 1948 yang jatuh di Padalarang akibat cuaca buruk. Menurut saksi mata, pesawat terbakar di bagian mesin dan kondisi badai, sehingga pesawat tak terkendali dan jatuh pada pukul 16.05 WIB di dekat lintasan rel antara Stasiun Cilame dan Sasaksaat. Pesawat tersebut membawa 4 awak dan 15 penumpang, bertolak dari Andir menuju ke Kemayoran.

Monumen Musisi Korban Kecelakaan PK-REA

Di antara 15 penumpang, terdapat lima warga sipil yang terdiri dari tiga musisi klasik asal Belanda, yaitu pianis Elisabeth Everts (28 tahun), pemain cello Johan Gutlich (36 tahun), dan violist Rudi Broer van Dijk (22 tahun), eluctionist Francina Geertruida Maria Gerrese (46 tahun), serta seorang pensiunan sersan KNIL Leendert Paay (45 tahun). Mereka datang ke Hindia Belanda sejak bulan Oktober 1947 dalam rangka misi pentas untuk menghibur para serdadu KNIL. Pentas mereka didukung organisasi Nationale Inspanning Welzijnsverzorging Indiƫ (NIWIN), sebuah organisasi amal untuk kesejahteraan pasukan Belanda di Indonesia. Jenasah mereka semula dimakamkan pada tanggal 12 Februari 1948 di Ereveld Parkweg Bandung (sekarang Kampus Unisba). Karena dianggap berjasa menghibur pasukan KNIL, maka pada tanggal 21 Maret 1950 kelima jenasah tersebut dipindahkan ke Ereveld Pandu. Adapun penumpang lainnya yang merupakan anggota ML KNIL dimakamkan di Ereveld Tjililitan, sebelum kemudian dipindahkan ke Ereveld Menteng Pulo.

Monumen Tjiaterstelling

Monumen keempat adalah monumen Tjiaterstelling (Pos Ciater), sebagai bentuk penghormatan terhadap mereka yang gugur ketika melawan Jepang antara 1-8 Maret 1942 di sekitar Subang, Kalijati dan Ciater. Pertempuran Perlintasan Ciater terjadi di antara perkebunan Ciater dan hutan Jayagiri Cikole, berlangsung dari 5 hingga 7 Maret 1942 antara pasukan invasi Jepang melawan pasukan KNIL. Pertempuran ini memperebutkan Perlintasan Ciater yang merupakan garis pertahanan terakhir Batalion 5 KNIL di Bandung, dalam upaya mempertahankan Kota Bandung. Pertempuran berakhir dengan kekalahan pasukan KNIL. Dari 72 orang yang dieksekusi di Ciater, hanya 3 orang yang selamat. Pada 8 Maret 1942 pemerintah Hindia Belanda menyerahkan Hindia Belanda kepada Jepang di Kalijati.

Monumen Tjiaterstelling berbentuk 12 prasasti yang melingkari tiang bendera pada monumen, bertuliskan nama-nama mereka yang gugur di Tjiaterstelling dan Subangtelling. Di pondasi tiang bendera terdapat 12 simbol zodiak dan simbol 4 agama besar di dunia. Sedangkan di dasar tiang terdapat nama-nama tempat pertempuran KNIL: Subang, Ciater, Kalijati, Cihapit, Karees, Batalyon 15, Sukamiskin, Cirebon, Banyumas, Cianjur, dan Preanger.


Sunday, March 3, 2024

Tarekat Mason Bebas di Nusantara

Secret Society of Batavia, wow… membayangkan di masa Hindia Belanda, ada perkumpulan rahasia di Batavia. Benarkah itu? Perjalanan saya bersama Tour WalkIndies pada awal Oktober 2023 yang lalu akhirnya menguak banyak cerita menarik tentang Perkumpulan Rahasia ini.

Yang dimaksud Perkumpulan Rahasia tersebut adalah “Freemasonry”. Freemasonry (bahasa Belanda: Vrijmetselarij, bahasa Indonesia: Tarekat Mason Bebas,) adalah organisasi persaudaraan yang asal-usulnya tidak jelas dan muncul antara akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17, dan saat ini anggotanya tersebar di seluruh dunia. Freemasonry merupakan organisasi yang sangat eksklusif, tertutup dan ketat dalam penerimaan anggota barunya. Kata mason berasal dari bahasa Prancis, maƧon, yang artinya "tukang batu", karena organisasi ini pertama kali dibentuk oleh para “tukang batu” (jaman sekarang profesi tersebut setara dengan insinyur). Persyaratan untuk bergabung dengan Freemason saat itu adalah harus laki-laki, memiliki agama, dan bebas dari perbudakan. Tujuan utamanya adalah membangun persaudaraan dan pengertian bersama akan kebebasan berpikir dengan standar moral yang tinggi. Hal ini mencerminkan tujuan utama Freemasonry untuk membangun persaudaraan dan pengertian bersama akan kebebasan berpikir dengan standar moral yang tinggi. 

Freemason masuk ke Nusantara sejak tahun 1762, ditandai dengan pendirian loji pertamanya di Batavia, "La Choisie", oleh J.C.M. Radermacher (1741–1783).  Radermarcher dikenal sebagai pendiri organisasi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (cikal bakal Museum Nasional Indonesia). Di masa Hindia Belanda, Freemason berkembang cukup pesat, didorong faktor banyak tentara Belanda yang ditugaskan ke Hindia Belanda yang merupakan anggota Freemason. 

Sempat surut di masa pendudukan Jepang, ketika Indonesia Merdeka dan dinyatakan berdaulat, Freemason mulai hadir kembali. Antara 1950-1951, banyak loji-loji baru didirikan di Indonesia. Pada tanggal 7 April 1955 didirikan Tarekat Mason Indonesia. Namun keberadaan Freemason di Indonesia tidak berlangsung lama. Tahun 1961, Presiden Soekarno menerbitkan Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Republik Indonesia nomor 7 tahun 1961 yang melarang beberapa organisasi yang dianggap bersumber dari luar Indonesia dan tidak sesuai dengan kepribadian nasional, salah satunya adalah “Vrijmetselaren-Logge" (Loge Agung Indonesia). Adanya peraturan ini membuat organisasi Freemason di Indonesia dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. 

Saat mengikuti tour “Secret Society of Batavia” bersama WalkIndies, kami melihat bukti keberadaan Freemason di Nusantara, yang ditandai dengan simbol-simbol khas pada nisan para anggota Freemason. Simbol pada nisan tersebut dapat ditemui di Museum Taman Prasasti, yang dahulu merupakan pemakaman elite modern dan tertua di dunia, dikenal dengan nama Kebon Jahe Kober. 

Nisan Mayor Schneider dengan Simbol Jangka dan Mistar

Nisan pertama di Museum Taman Prasasti yang memiliki simbol Freemason adalah nisan tembaga dari Mayor Lodewijk Schneider yang wafat tahun 1820. Pada nisan tersebut terdapat simbol jangka dan mistar, dengan atasnya terdapat Segitiga berisi mata, atau “All-Seeing Eye”. Jangka dan mistar merupakan simbol bahwa Tarekat Mason Bebas berawal dari profesi tukang batu. Simbol ini juga dapat dimaknai bahwa para Mason memiliki misi "membangun" kuil kemanusiaan. Sedangkan “All Seeing Eye” merupakan lambang Mata Ilahi yang mengawasi umat manusia, sebagai pengingat bahwa pemikiran dan perbuatan para Mason selalu diawasi oleh Tuhan.

Di Museum Taman Prasasti juga terdapat nisan Olivia Mariamne, istri Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Hindia Belanda pada masa penjajahan Inggris. Walaupun tidak dilengkapi simbol Masonik, namun kaitannya dengan Freemason adalah Raffles juga merupakan anggota Mason yang bergabung pada tahun 1812. Uniknya, Raffles dilantik menjadi anggota Mason bukan di Eropa, melainkan di Jawa. Ada yang mengatakan Raffles dilantik sebagai anggota Mason di Loji Virtutis et Artis Amici di Pondok Gede. Tahun 1813, Raffles naik jabatan menjadi Worshipful Master dengan upacara di Loji De Vriendschap di Tunjungan, Surabaya. 

Nisan JH Horst dengan Momento Mori

Tak jauh dari nisan Olivia, terdapat nisan JH Horst, kepala badan survey tanah yang mendesain Willemskerk (sekarang GPIB Immanuel Jakarta), walaupun Horst bukan seorang arsitek. Di atas nisannya terdapat simbol Masonik “Momento Mori” yang berbentuk tengkorak dengan dua tulang bersilang, yang bermakna "mengingat kematian". Melingkari simbol Memento Mori, terdapat ukiran ranting akasia. Ukiran ranting akasia ini berasal dari kisah Hiram Abiff, seorang arsitek kepala di jaman Nabi Sulaiman yang dipercaya memegang kata kunci rahasia Mason. Dalam proses pembangunan Bait Salomo yang dipimpin oleh Abiff, suatu hari terdapat 3 orang yang mencegat Abiff dan meminta kunci rahasia Mason. Abiff tak mau memberikan kata kunci tersebut, sehingga ketiga orang itu membunuhnya dan menyembunyikan jasadnya di puing-puing, kemudian menandainya dengan ranting akasia. 

Nisan Jendral Kohler dengan Ouroboros

Salah satu tokoh militer Hindia Belanda yang juga merupakan anggota Freemason adalah Jendral J.H.R. Kohler, panglima perang Hindia Belanda yang tewas dalam Perang Aceh tahun 1873.  Keterlibatan Kohler dengan Freemason ditandai dengan simbol ular yang menggigit ekornya sendiri atau Ouroboros pada nisannya. Simbol ini bermakna lingkaran siklus kehidupan: kehidupan-kematian-kelahiran kembali. Selain Ouroboros, keterlibatan Kohler dalam Freemason juga ditandai dengan simbol obor terbalik. Nyala obor menandakan kehidupan, namun karena di nisan Kohler obor tersebut diletakkan terbalik, bermakna kematian bagi Kohler. Saat jasad di pemakaman Kebon Jahe Kober dipindahkan dan tempat ini dijadikan museum, jasad Kohler dipindahkan ke Kerkhoff Peucut di Banda Aceh.

Dari Museum Taman Prasasti, tour jalan kaki berlanjut melewati Istana Merdeka, GKI Immanuel, Gedung AA Maramis, dan berakhir di Kantor Pusat Kimia Farma di Jl. Budi Utomo. Bangunan yang didirikan tahun 1830 ini dulu merupakan Loji Bintang Timur (De Ster in het Oosten), salah satu loji Freemason yang digunakan untuk tempat pertemuan. Pada masanya, terdapat tidak kurang dari 20 loji utama Freemason di Nusantara: 14 di Jawa, 3 di Sumatra, serta terdapat di Makassar dan Hollandia (Jayapura). Banyak loji yang ditutup pada masa pendudukan Jepang. Walaupun setelah masa kemerdekaan sempat berdiri beberapa loji baru, semua loji di Indonesia ditutup setelah organisasi Freemason dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Gedung Kimia Farma, dulunya Loji Bintang Timur

Menariknya, di masa Hindia Belanda, Jl. Budi Utomo tempat berdirinya Loji Bintang Timur ini diberi nama Vrijmetselaars Weg (Jalan Fremason). Namun organisasi Budi Utomo tidak ada hubungannya dengan Freemason, walaupun beberapa tokoh pentingnya merupakan anggota Freemason, seperti Dr. Radjiman Wedyodiningrat dan Pangeran Ario Notodirodjo. Fakta lainnya, Dr. Radjiman bukan pribumi pertama yang menjadi anggota Freemason.  Anggota Freemason pribumi pertama adalah Raden Saleh, pelukis pelopor aliran Romantisme di Nusantara. Raden Saleh diketahui menjadi Freemason ketika menempuh pendidikan di maestro lukis di Den Haag.

Gedung Bappenas, dulunya Loji Adhuc Stat

Tahun 1935, Freemason membuat loji baru di Kawasan Menteng bernama Loji Adhuc Stat, yang kini digunakan sebagai Gedung Bappenas. Bangunannya merupakan desain dari NE Burkoven Jaspers, dan dibangun sejak tahun 1934. Freemason bisa mendapatkan tanah untuk membuat loji, karena walikota Batavia saat itu merupakan anggota Freemason. Masyarakat mengenal gedung Bappenas sebagai Gedung Setan, karena sering dikira sebagai tempat pemujaan setan oleh para anggota Mason.


Wednesday, February 14, 2024

Masjid Cut Mutiah, Biro Yang Menjadi Rumah Ibadah

 Bagi mereka yang sering melintasi kawasan Cikini dan Gondangdia, Masjid Cut Mutiah yang beralamat di Jl. Cut Mutiah Nomor 1 ini bukan merupakan tempat yang asing. Bangunan dua lantai ini semua merupakan kantor biro arsitek dan pengembang N.V. De Bouwploeg, di bawah pimpinan Pieter Adriaan Jacobus Moojen. Moojen sendiri yang merancang bangunan berbentuk kubus yang dibangun pada tahun 1922. Nama De Bouwploeg memiliki arti harfiah “Kelompok Membangun”.

Tampak Luar Mesjid Cut Mutiah

N.V. De Bouwploeg merupakan pengembang wilayah Menteng yang dibangun sejak tahun 1912. Di era Tanam Paksa, hampir semua Perusahaan yang beroperasi di sektor pertanian dan Perkebunan di Hindia Belanda membutuhkan kantor pusat yang berlokasi di dekat Batavia (saat itu batas kota Batavia baru sampai sekitar Kebon Sirih). Sebelum berkantor di kawasan Menteng, N.V. De Bouwploeg berkantor di kawasan Kota Tua, kurang lebih di Gedung BNI yang dekat Stasiun Kota. 

Setelah N.V. De Bouwploeg dinyatakan bangkrut pada tahun 1925, bangunan ini pernah memiliki berbagai fungsi, mulai dari Proviciale Waterstaat, kantor pos pembantu, pada Perang Dunia II digunakan oleh Kempetai Angkatan Laut Jepang (1942-1945), Kantor Jawatan Kereta Api hingga tahun 1957, Dinas Perumahan Rakyat (1957-1964), Gedung Perusahaan Air Minum, Sekretariat DPR-GR dan MPRS, dan Kantor Urusan Agama (1964-1970). Walaupun telah beralihfungsi beberapa kali, sejak tahun 1971 bangunan ini berada di bawah dinas Museum dan sejarah, karena telah ditetapkan sebagai cagar budaya, sehingga tidak boleh diubah bentuknya.

Bangunan ini mulai digunakan sebagai masjid sejak tahun 1970. Bangunan ini kemudian diwakafkan kepada angkatan 66. Para aktivitas angkatan 1966, seperti Akbar Tanjung dan Fahmi Idris, kemudian mendirikan Yayasan Masjid Al Jihad dan memfungsikan bangunan ini sebagai tempat shalat Jumat. Selanjutnya warga mendatangi Jendral A.H. Nasution sebagai Ketua MPRS, dan meminta gedung Bouwploeg bisa dialihfungsikan menjadi masjid sepenuhnya. 

Atas desakan dari berbagai pihak, baru pada masa Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto, bangunan ini diresmikan sebagai masjid tingkat provinsi dengan surat keputusan nomor SK 5184/1987 tanggal 18 Agustus 1987. Nama Masjid Cut Mutiah diambil karena jalan di samping masjid adalah Jl. Cut Mutiah. Namun demikian, nama Bouwploeg sendiri tidak hilang begitu saja, karena daerah tersebut masih sering disebut dengan Boplo, dan pasar yang terletak di sisi barat stasiun kereta api Gondangdia juga masih disebut sebagai Pasar Boplo.

Minggu 28 Januari 2024, akhirnya saya bersama rombongan Sahabat Museum berkesempatan untuk melihat bagian dalam bangunan ini (liputan lengkapnya bisa lihat di sini). Menarik, karena untuk bisa memahami arsitekturnya, kita harus tahu sejarah penggunaan bangunan ini. Karena semula dirancang untuk bangunan kantor, maka bangunan seluas 4.616 meter persegi ini dibuat menggunakan gaya Indie, untuk menyesuaikan dengan daerah tropis. Bangunan yang aslinya berbentuk kubus berlantai dua ini memiliki 3 buah jendela kaca di setiap sisinya, dengan total jendela 104 buah. Di bagian tengah bangunan terdapat menara ventilasi setinggi 4,2 meter untuk mengatur sirkulasi udara di dalam bangunan. 

Interior Mesjid Cut Mutiah

Ketika bangunan ini dijadikan masjid, banyak dilakukan penyesuaian, agar berbagai aspek masjid dapat masuk ke dalam bangunan tersebut. Sebagai hasilnya, bangunan masjid bergaya kolonial ini sangat unik dan tidak ditemukan di masjid lainnya. Salah satunya adalah mihrab masjid yang diletakkan di samping kiri dari saf shalat (tidak di tengah seperti pada umumnya). Selain itu, karena bangunan masjid dibuat tidak mengarah ke kiblat, maka posisi safnya miring terhadap bangunan masjidnya sendiri, kurang lebih 45 derajat dari poros bangunan. 

Jika diperhatikan, di dalam masjid terdapat balkon namun seperti tidak ada tangganya. Perubahan ini terjadi karena tangga balkon semula berada di tengah ruangan, tepat berada di arah kiblat. Agar tidak mengganggu jemaah yang beribadah, tangga ini kemudian dicopot, digantikan dengan tangga yang diletakkan di teras depan. Secara total, masjid ini mampu menampung 3000 jamaah di kedua lantainya.

Bang Adep sebagai pengelola komunitas Sahabat Museum menceritakan bahwa di masa lalu, di taman depan Gedung Bouwploeg terdapat Monumen Van Heutsz yang menghadap ke arah Jl. Menteng. Van Heutsz, lengkapnya Johannes Benedictus van Heutsz, adalah Gubernur Jendral Belanda yang sebelumnya pernah mengikuti misi militer ke Aceh dan pada tahun 1899 terlibat pertempuran dan berhasil menewaskan Teuku Umar. Monumen dengan dimensi lebar 16 meter x Panjang 20 meter x tinggi 12 meter tersebut dibangun pada tahun 1932. Monumen rancangan arsitek Belanda W.M. Dudok ini menggambarkan tuntasnya proses Pasifikasi Belanda selama masa pemerintahan Van Heutsz. Dalam monument tersebut digambarkan patung dada Van Heutsz di atas sebuah pilar, dan di bawah terdapat orang-orang dari Aceh, Jawa, dan Papua. Patung tersebut juga memiliki bentuk gajah, Binatang yang banyak terdapat di Sumatera. Tahun 1953, patung ini dihancurkan, dan sekarang tempat berdirinya patung yang sebelumnya bernama Van Heutsz Plein tersebut menjadi Taman Cut Mutiah.

Menariknya, di masa Hindia Belanda, jalan terbesar di dekat Gedung Bouwploeg dan Monumen Van Heutsz diberi nama Van Heutsz Boulevard. Di masa kemerdekaan, pada tahun 1950-an dilakukan pergantian nama jalan menjadi nama yang lebih nasionalis. Van Heutsz Boulevard kemudian berganti nama menjadi Jl. Teuku Umar, musuh bebuyutan Van Heutsz selama berlangsungnya Perang Aceh. Dan jika diperhatikan, daerah sekitar Mesjid Cut Mutia memiliki nama-nama pahlawan Aceh, termasuk Cut Mutia dan Cut Nyak Dien.